Selasa, 20 Oktober 2009

SEBUTIR PASIR

Penakluk pertama Mount Everest, puncak tertinggi dunia di Pegunungan Himalaya, Sir Edmund Hillary, pernah ditanya wartawan apa yang paling ditakutinya dalam menjelajah alam. Dia lalu mengaku tidak takut pada binatang buas, jurang yang curam, bongkahan es raksasa, atau padang pasir yang luas dan gersang sekali pun! Lantas apa? "Sebutir pasir yang terselip di sela-sela jari kaki," kata Hillary. Wartawan heran, tetapi sang penjelajah melanjutkan kata-katanya, "Sebutir pasir yang masuk di sela-sela jari kaki sering sekali menjadi awal malapetaka. Ia bisa masuk ke kulit kaki atau menyelusup lewat kuku. Lama-lama jari kaki terkena infeksi, lalu membusuk. Tanpa sadar, kaki pun tak bisa digerakkan. Itulah malapetaka bagi seorang penjelajah sebab dia harus ditandu." Harimau, buaya, dan beruang, meski buas, adalah binatang yang secara naluriah takut menghadapi manusia. Sedang menghadapi jurang yang dalam dan ganasnya padang pasir, seorang penjelajah sudah punya persiapan memadai. Tetapi, jika menghadapi sebutir pasir yang akan masuk ke jari kaki, seorang penjelajah tak mempersiapkannya. Dia cenderung mengabaikannya.
Apa yang dinyatakan Hillary, kalau kita renungkan, sebetulnya sama dengan orang yang mengabaikan dosa-dosa kecil. Orang yang melakukan dosa kecil, misalnya mencoba-coba mencicipi minuman keras atau membicarakan keburukan orang lain, sering menganggap hal itu adalah dosa yang kecil. Karena itu, banyak orang yang kebablasan melakukan dosa-dosa kecil sehingga lambat laun jadi kebiasaan. Kalau sudah jadi kebiasaan, dosa kecil itu pun akan berubah jadi dosa besar yang sangat membahayakan dirinya dan masyarakat.
Melihat kemungkinan potensi kerusakan besar yang tercipta dari dosa-dosa kecil itulah, Nabi Muhammad saw mewanti-wanti agar ummatnya tidak mengabaikan dosa-dosa kecil seraya tidak melupakan amal baik kendati kecil juga. Dalam kisah disebutkan, seorang pelacur masuk surga hanya karena memberi minum anjing yang kehausan. Perbuatan yang cenderung dinilai sangat kecil itu ternyata di mata Allah punya nilai sangat besar karena faktor keikhlasannya. Bukankah semua roh yang ada di seluruh jagad ini, termasuk roh anjing tersebut, hakikatnya berasal dari Tuhan Yang Maha Pencipta juga? Itulah nilai setetes air penyejuk yang diberikan sang pelacur pada anjing yang kehausan.

Hati Ibarat Rumah

Ada tiga macam rumah, Pertama Rumah raja, di dalamnya ada simpanannya, tabungannya serta perhiasannya. Kedua Rumah hamba, di dalamnya ada simpanan, tabungan dan perhiasan yang tidak seperti yang dimiliki seorang raja. Dan ketiga adalah Rumah kosong, tidak ada isinya.

Jika datang seorang pencuri, rumah mana yang akan dimasukinya?

Apabila anda menjawab, ia akan masuk rumah yang kosong, tentu suatu hal yang tidak masuk akal, karena rumah kosong tidak ada barang yang bisa dicurinya.

Karena itulah dikatakan kepada Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhu, bahwa ada orang-orang Yahudi mengklaim bahwa di dalam shalat, mereka 'tidak pernah terganggu', Maka Ibnu Abbas berkata: "Apakah yang bisa dikerjakan oleh syetan dalam rumah yang sudah rusak?"

Bila jawaban anda adalah: "Pencuri itu akan masuk rumah raja." Hal tersebut bagaikan sesuatu yang hampir mustahil, karena tentunya rumah raja dijaga oleh penjaga dan tentara, sehingga pencuri tidak bisa mendekatinya.

Bagaimana mungkin pencuri tersebut mendekatinya sementara para penjaga dan tentara senantiasa siap siaga di sekitar raja?

Sekarang tinggal rumah ketiga, maka hendaklah orang-orang berakal memperhatikan permisalan ini sebaik-baiknya, dan menganalogikannya (rumah) dengan hati, karena inilah yang dimaksudkannya.

Hati yang kosong dari kebajikan, yaitu hati orang-orang kafir dan munafik, adalah rumah setan, yang telah menjadikannya sebagai benteng bagi dirinya dan sebagai tempat tinggalnya. Maka adakah rangsangan untuk mencuri dari rumah itu sementara yang ada didalamnya hanyalah peninggalan setan, simpanannya dan gangguannya? (rumah ketiga).

Hati yang telah dipenuhi dengan kekuasaan Allah Subhanahu wa ta'ala dan keagungan-Nya, penuh dengan kecintaanNya dan senantiasa dalam penjagaan-Nya dan selalu malu darinya, Syetan mana yang berani memasuki hati ini? Bila ada yang ingin mencuri sesuatu darinya, apa yang akan dicurinya? (rumah pertama).

Hati yang di dalamnya ada tauhid Allah, mengerti tentang Allah, mencintaiNya, dan beriman kepadaNya, serta membenarkan janjiNya, Namun di dalamnya ada pula syahwat, sifat-sifat buruk, hawa nafsu dan tabiat tidak baik. Hati ini ada diantara dua hal. Kadang hatinya cenderung kepada keimanan, ma'rifah dan kecintaan kepada Allah semata, dan kadang condong kepada panggilan syetan, hawa nafsu dan tabiat tercela.(rumah kedua)
Hati semacam inilah yang dicari oleh syetan dan diinginkannya. Dan Allah memberikan pertolongan-Nya kepada yang dikehendakiNya. "Dan kemenanganmu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi maha bijaksana." (Ali Imran:126)

Syetan tidak bisa mengganggunya kecuali dengan senjata yang dimilikinya, yang dengannya ia masuk dalam hati. Di dalam hati seperti ini syetan mendapati senjata-senjatanya yang berupa syahwat, syubhat, khayalan-khayalan dan angan-angan dusta yang berada di dalam hati.

Saat memasukinya, syetan mendapati senjata-senjata tersebut dan mengambilnya serta menjadikannya menetap di hati. Apabila seorang hamba mempunyai benteng keimanan yang mengimbangi serangan tersebut, dan kekuatannya melebihi kekuatan penyerangnya, maka ia akan mampu mengalahkan syetan. Tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah semata.

Indahnya Kasih Sayang

Mahasuci ALLOH, Zat yang Maha Mengaruniakan kasih sayang kepada makhluk-makhluk Nya. Tidaklah kasih sayang melekat pada diri seseorang, kecuali akan memperindah orang tersebut, dan tidaklah kasih sayang terlepas dari diri seseorang, kecuali akan memperburuk dan menghinakan orang tersebut.

Betapa tidak? Jikalau kemampuan kita menyayangi orang lain tercerabut, maka itulah biang dari segala bencana, karena kasih sayang ALLOH Azza wa Jalla ternyata hanya akan diberikan kepada orang-orang yang masih hidup kasih sayang di kalbunya.

Karenanya, tidak bisa tidak, kita harus berjuang dengan sekuat tenaga agar hati nurani kita hidup. Tidak berlebihan jikalau kita mengasahnya dengan merasakan keterharuan dari kisah-kisah orang yang rela meluangkan waktu untuk memperhaikan orang lain. Kita dengar bagaimana ada orang yang rela bersusah-payah membacakan buku, koran, atau juga surat kepada orang-orang tuna netra, sehingga mereka bisa belajar, bisa dapat informasi, dan bisa mendapatkan ilmu yang lebih luas.

Rasulullah SAW dalam hal ini bersabda, "ALLOH SWT mempunyai seratus rahmat (kasih sayang), dan menurunkan satu rahmat (dari seratus rahmat) kepada jin, manusia, binatang, dan hewan melata. Dengan rahmat itu mereka saling berbelas-kasih dan berkasih sayang, dan dengannya pula binatang-binatang buas menyayangi anak-anaknya. Dan (ALLOH SWT) menangguhkan 99 bagian rahmat itu sebagai kasih sayang-Nya pada hari kiamat nanti." (H.R. Muslim).

Dari hadis ini nampaklah, bahwa walau hanya satu rahmat-Nya yang diturunkan ke bumi, namun dampaknya bagi seluruh makhluk sungguh luar biasa dahsyatnya. Karenanya, sudah sepantasnya jikalau kita merindukan kasih sayang, perhatian, dan perlindungan ALLOH SWT, tanyakanlah kembali pada diri ini, sampai sejauhmana kita menghidupkan kalbu untuk saling berkasih sayang bersama makhluk lain?


Kasih sayang dapat diibaratkan sebuah mata air yang selalu bergejolak keinginannya untuk melepaskan beribu-ribu kubik air bening yang membuncah dari dalamnya tanpa pernah habis. Kepada air yang telah mengalir untuk selanjutnya menderas mengikuti alur sungai menuju lautan luas, mata air sama sekali tidak pernah mengharapkan ia kembali.


Sama pula seperti pancaran sinar cerah matahari di pagi hari, dari dulu sampai sekarang ia terus-menerus memancarkan sinarnya tanpa henti, dan sama pula, matahari tidak mengharap sedikit pun sang cahaya yang telah terpancar kembali pada dirinya. Seharusnya seperti itulah sumber kasih sayang di kalbu kita, ia benar-benar melimpah terus tidak pernah ada habisnya.

Tidak ada salahnya agar muncul kepekaan kita menyayangi orang lain, kita mengawalinya dengan menyayangi diri kita dulu. Mulailah dengan menghadapkan tubuh ini ke cermin seraya bertanya-tanya: Apakah wajah indah ini akan bercahaya di akhirat nanti, atau justru sebaliknya, wajah ini akan gosong terbakar nyala api jahannam?

Tataplah hitamnya mata kita, apakah mata ini, mata yang bisa menatap ALLOH, menatap Rasulullah SAW, menatap para kekasih ALLOH di surga kelak, atau malah akan terburai karena kemaksiyatan yang pernah dilakukannya?

Rabalah bibir manis kita, apakah ia akan bisa tersenyum gembira di surga sana atau malah bibir yang lidahnya akan menjulur tercabik-cabik?!

Perhatikan tubuh tegap kita, apakah ia akan berpendar penuh cahaya di surga sana, sehingga layak berdampingan dengan si pemiliki tubuh mulia, Rasulullah SAW, atau tubuh ini malah akan membara, menjadi bahan bakar bersama hangusnya batu-batu di kerak neraka jahannam?

Ketika memandang kaki, tanyakanlah apakah ia senantiasa melangkah di jalan ALLOH sehingga berhak menginjakkannya di surga kelak, atau malah akan dicabik-cabik pisau berduri.

Memandang mulusnya kulit kita, renungkanlah apakah kulit ini akan menjadi indah bercahaya ataukah akan hitam legam karena gosong dijilat lidah api jahannam?

Mudah-mudahan dengan bercermin sambil menafakuri diri, kita akan lebih mempunyai kekuatan untuk menjaga diri kita.

Jangan pula meremehkan makhluk ciptaan ALLOH, sebab tidaklah ALLOH menciptakan makhluk-Nya dengan sia-sia. Semua yang ALLOH ciptakan syarat dengan ilmu, hikmah, dan ladang amal. Semua yang bergerak, yang terlihat, yang terdengar, dan apa saja karunia dari ALLOH adalah jalan bagi kita untuk bertafakur jikalau hati ini bisa merabanya dengan penuh kasih sayang.

Dikisahkan di hari akhir datang seorang hamba ahli ibadah kepada ALLOH, tetapi ALLOH malah mencapnya sebagai ahli neraka, mengapa? Ternyata karena suatu ketika si ahli ibadah ini pernah mengurung seekor kucing sehingga ia tidak bisa mencari makan dan tidak pula diberi makan oleh si ahli ibadah ini. Akhirnya mati kelaparanlah si kucing ini. Ternyata walau ia seorang ahli ibadah, laknat ALLOH tetap menimpa si ahli ibadah ini, dan ALLOH menetapkannya sebagai seorang ahli neraka, tiada lain karena tidak hidup kasih sayang di kalbunya.

Tetapi ada kisah sebaliknya, suatu waktu seorang wanita berlumur dosa sedang beristirahat di pinggir sebuah oase yang berair dalam di sebuah lembah padang pasir. Tiba-tiba datanglah seekor anjing yang menjulur-julurkan lidahnya seakan sedang merasakan kehausan yang luar biasa. Walau tidak mungkin terjangkau kerena dalamnya air di oase itu, anjing itu tetap berusaha menjangkaunya, tapi tidak dapat. Melihat kejadian ini, tergeraklah si wanita untuk menolongnya. Dibukalah slopnya untuk dipakai menceduk air, setelah air didapat, diberikannya pada anjing yang kehausan tersebut. Subhanallah, dengan ijin ALLOH, terampunilah dosa wanita ini.

Demikianlah, jikalau hati kita mampu meraba derita makhluk lain, insya ALLOH keinginan untuk berbuat baik akan muncul dengan sendirinya.

Kisah lain, ketika suatu waktu ada seseorang terkena penyakit tumor yang sudah menahun. Karena tidak punya biaya untuk berobat, maka berkunjunglah ia kepada orang-orang yang dianggapnya mampu memberi pinjaman biaya.

Bagi orang yang tidak hidup kasih sayang di kalbunya, ketika datang orang yang akan meminjam uang ini, justru yang terlintas dalam pikirannya seolah-olah harta yang dimilikinya akan diambil oleh dia, bukannya memberi, malah dia ketakutan akan hartanya karena disangkanya akan habis atau bahkan jatuh miskin.

Tetapi bagi seorang hamba yang tumbuh kasih sayang di kalbunya, ketika datang yang akan meminjam uang, justru yang muncul rasa iba terhadap penderitaan orang lain. Bahkan jauh di lubuk hatinya yang paling dalam akan membayangkan bagaimana jikalau yang menderita itu dirinya. Terlebih lagi dia sangat menyadari ada hak orang lain yang dititipkan ALLOH dalam hartanya. Karenanya dia begitu ringan memberikan sesuatu kepada orang yang memang membutuhkan bantuannya.

Ingatlah, hidupnya hati hanya dapat dibuktikan dengan apa yang bisa kita lakukan untuk orang lain dengan ikhlas. Apa artinya hidup kalau tidak punya manfaat? Padahal hidup di dunia ini cuma sekali dan itupun hanya mampir sebentar saja. Tidak ada salahnya kita berpikir terus dan bekerja keras untuk menghidupkan kasih sayang di hati ini. Insya ALLOH bagi yang telah tumbuh kasih sayang di kalbunya, ALLOH Azza wa Jalla, Zat yang Maha Melimpah Kasih Sayang-Nya akan mengaruniakan ringannya mencari nafkah dan ringan pula dalam menafkahkannya di jalan ALLOH, ringan dalam mencari ilmu dan ringan pula dalam mengajarkannya kepada orang lain, ringan dalam melatih kemampuan bela diri dan ringan pula dalam membela orang lain yang teraniaya, Subhanallah.

Cara lain yang dianjurkan Rasulullah SAW untuk menghidupkan hati nurani agar senantiasa diliputi nur kasih sayang adalah dengan melakukan banyak silaturahmi kepada orang-orang yang dilanda kesulitan, datang ke daerah terpencil, tengok saudara-saudara kita di rumah sakit, atau pula dengan selalu mengingat umat Islam yang sedang teraniaya, seperti di Bosnia, Checnya, Ambon, Halmahera, atau di tempat-tempat lainnya.

Belajarlah terus untuk melihat orang yang kondisinya jauh di bawah kita, insya ALLOH hati kita akan melembut karena senantiasa tercahayai pancaran sinar kasih sayang. Dan hati-hatilah bagi orang yang bergaulnya hanya dengan orang-orang kaya, orang-orang terkenal, para artis, atau orang-orang elit lainnya, karena yang akan muncul justru rasa minder dan perasaan kurang dan kurang akan dunia ini, Masya ALLOH.

Sabtu, 10 Oktober 2009

MAAFKAN AKU, ADIBAH!

Aku meletakkan mug berisi coklat susu di sebelah Baha. Baha masih tekun melakarkan garis-garis halus pada kertas pelan. Seperti selalunya, Baha langsung tidak mengendahkan kehadiranku. Aku berdiri tegak di sisinya, sambil melihat tangannya yang cekap melukis. Lama-lama aku menjadi bosan, Baha hanya pentingkan kerjanya.

Menjadi isteri Baha bukannya mudah. Aku orang kampung. Aku tidak pandai menyesuaikan diri dalam majlis, apatah lagi kalau majlis rasmi. Baha selalu komen ... Adibah pasif. Pasif tu apa? Baha kata aku konservatif, tak sporting dan entah apa-apa lagi komennya, aku pun tak faham. Yang pastinya, aku kecil hati.

Akhir-akhir ini aku menjadi semakin bosan. Kadang-kadang aku rasakan aku ni ‘babunya’. Dalam rumah ini semuanya Baha yang atur. Tidak ada suatu pun yang tidak mengikut cita rasa dan pilihan Baha dalam rumah banglo setingkat ini kecuali, memilih aku sebagai isterinya.

“Ada apa lagi, Adibah?” tanya Baha, yang masih tekun menggaris, rupanya sudah lama aku mematung di sisi Baha.

Aku tahu, aku mengerti, Baha memang pantang diganggu ketika sedang bekerja atau ‘study’. Aku kenal benar dengan sikap Baha yang sibuk dan suka buat-buat sibuk. Kerjanya sebagai arkitek dan pensyarah sambilan, membuat Baha tidak ada masa langsung untuk menghiburkan aku.

Rutin Baha setiap hari sentiasa padat. Selepas sembahyang subuh, dia terus berjoging. Kemudian akan ke pejabat – hampir Maghrib baru pulang. Hari Selasa, Rabu dan Jumaat ada kuliah di sebelah malam. Kalau tiada majlis atau seminar yang perlu dihadiri pula, Baha akan terus berkurung di bilik kerja sehingga pukul dua, tiga pagi.

“Ada apa lagi, Dibah?” tanya Baha, lalu membetulkan lampu mejanya.
“Oh, tak Dibah cuma tengok pelan ni,” kataku.
“Dibah faham ke?”
Baha mengangkat mukanya. Dia tersenyum sinis kepadaku. Mentang-mentanglah aku cuma sekolah setakat Darjah Enam saja, dia ingat aku ni bodoh sangat.
“Manalah Dibah faham, Dibah ni kan tak belajar sampai luar negara.” Perliku.
“Ke situ pula,” kata Baha.

Baha menghirup coklat susu daripada ‘mug’ biru tua – warna kegemaran Baha. Aku mula beredar.
“Oh, ya Dibah, Dato’ Ibrahim dan Datin Dahlia jemput kita ke rumahnya... anak mereka nak ke England, dia nak buat kenduri, Maghrib esok,” kata Baha cepat-cepat, tanpa memandangku.

Aku menoleh ke arah Baha.
“Dibah tak nak pergi. Abang Long pergilah sorang.”
“Dah dua kali Dibah tidak tunaikan undangan mereka,” kata Baha serius.
“Kenapa Dibah,” sambung Baha lagi.
Baha merenung tajam. Aku menjadi serba salah. Benci apabila Baha renungku begitu.

Antara aku dan Baha memang macam pipit dan enggang – tak setaraf. Meskipun Baha, sepupuku itu orang kampung macam aku juga. Namun taraf pendidikan dan kedudukan Baha sekarang telah memisahkan kami.

Aku ni berbahasa Melayu baku pun tak cekap. Apatah lagi nak cakap ‘orang putih’. Aku juga tak pandai makan dengan pisau, sudu dan garpu. Aku tak tahu berbincang tentang isu semasa, politik atau apa saja yang menjadi bualan Baha ketika bertemu dengan rakan-rakannya.

Itulah yang membuat aku rendah diri. Terutama apabila berada di kalangan isteri rakan-rakan Baha. Aku tidak seperti Dr. Nora, isteri rakan sekerja Baha. Isteri Encik Idham tu, pandai berjenaka dan bercerita. Semua orang suka kepadanya. Aku juga tidak seperti Madam Teoh yang ramah dan fasih berbual dalam enam bahasa.

Aku selalu jadi kaku, beku dan serba salah apabila terpaksa berbual dengan mereka. Semuanya ini membuat aku lebih betah tinggal di rumah daripada mengiringi Baha ke majlis-majlisnya. Dan aku pasti Baha tentu lebih seronok kalau aku tidak ikut serta.

“Kenapa Dibah,” ulang Baha lagi.
Aku tersentak semula.
“Dibah tak mahu malukan Abang Long nanti,” jawabku selamba.

Baha sudah duga, itulah jawapan Dibah. Setiap kali itulah alasannya. Memang Adibah selalu memalukannya di majlis. Tetapi kawan-kawan Baha tahu siapa Dibah dan mereka tidak kisah. Malah mereka selalu marahkan Baha kerana selalu meninggalkan isterinya di rumah.

"You never give her a chance to join us,” kata Mr. Teoh.
“Betul tu, selalu simpan isterinya kat rumah, dia ingat isterinya barang antik."
"That’s girl baru 18 lah Che Baha oii. Of course she love to have fun. Jangan kurung dia dalam sangkar saja,” tambah Dr. Nora.

Baha membuka kaca mata bulatnya. Dia merenung wajah isterinya yang masih muda remaja. Adibah semakin kurus sekarang ini. Emak selalu berpesan, jangan sia-siakan Dibah. Adik sepupunya itu anak yatim piatu.

Mak Su dan Ayah Su, meninggal dalam kemalangan jalan raya ketika Adibah baru berumur enam tahun lagi. Sejak itu neneklah pelihara Adibah. Rumah nenek tidak jauh dari rumah Baha. Jadi sejak kecil, Adibah sudah kenal Baha. Malah Baha sentiasa memanjakan Adibah kerana Baha tidak ada adik perempuan. Tapi sekarang semuanya telah berubah.

Selepas Baha pulang dari luar negara, dua tahun yang lalu, semuanya bertukar. Susah baginya untuk mengasihi dan menyayangi Dibah sebagai isteri dan kekasih. Bukan kerana kasih sayang sebagai adik masih tebal dan kekal di hatinya tetapi kerana Baha masih mengingati Laila, rakan seuniversitinya.

* * * * *

Baha sangat sayangkan nenek. Tiada suatu pun kehendak nenek yang tidak diturutinya. Malah kadang-kadang patuhnya itu tidak bertempat. Misalnya, untuk mengahwini Adibah. Dia terima Adibah. Walaupun pada ketika yang sama dia masih mengingati Laila.

Mereka berkasih sejak di sekolah menengah lagi. Laila meninggal dunia ketika Baha hendak berangkat ke Australia untuk pengajian ‘master’, tujuh tahun dulu. Mereka sudah merancang untuk berumah tangga, sebaik sahaja Laila menamatkan ‘housemanship’nya di Hospital Universiti ketika itu.

Sejak Laila pergi, Baha tidak terfikir untuk beristeri. Dia lebih pentingkan cita-citanya. Dan kini Adibah menjadi mangsa di atas kepedihan Baha. Kasihan Dibah terpaksa menanggung kesedihan Baha sepanjang hampir setahun perkahwinan mereka itu.

Memandang usialah, nenek terus mendesaknya. Nenek percaya Baha dapat menjaga Adibah. Baha cucu sulung kesayangan nenek. Dan nenek tahu Baha sayangkan Dibah. Adibah yang baik, lembut dan penyabar tu memang dibesarkan bersama-sama Baha. Namun, nenek tidak pernah tahu, di hati Baha cuma ada Laila.

Baha terus memandang Dibah.
“Kenapa pula Dibah mesti malukan Abang Long,” tanya Baha lembut, setelah lama berdiam diri.
Soalan bodoh, fikir Baha, kemudiannya.
“Dibah... Dibah tak pandailah nak campur-campur dengan isteri kawan-kawan Abang Long,”
Alasan yang sama seperti selalunya, bisik Baha.

Aku meninggalkan Baha dan menuju ke ruang tamu. Aku duduk di atas sofa warna biru tua.
“Adibah,” jerit Baha.
Aku tidak menghiraukan jeritan Baha. Selama ini Baha tidak pernah meninggikan suara kepada aku. Aku semakin kecil hati. Baha berjalan pantas ke arahku, jarinya masih menggenggam pensel.
“Kenapa Dibah?”
Baha cuba berlembut, apabila dilihatnya mata Dibah berair. Aku menahan esakan. Aku jadi benci dengan kelemahan diri sendiri.

“Abang Long, Dibah rasa kita tak boleh bersama lagi. Apa yang Dibah buat serba tak kena. Dibah tak pandai sesuaikan diri dengan cara hidup Abang Long,” kataku tergagap-gagap, dan menyesal kemudiannya.

Suara isterinya yang sayu dan perlahan itu menikam hati Baha,

“Dibah berehatlah dulu, nanti kita bincang,” pujuk Baha.
“Dibah nak bincang sekarang. Dibah nak selesaikan saat ini,’ tegasku.
“Dibah,” tegas Baha sambil memandangku.
“Dibah dah jemu Abang Long. Dibah tak mau hidup dalam bayang-bayang Laila. Dibah tak boleh jadi macam Laila. Laila yang pandai... Laila bakal doktor, Laila cantik, Laila keibuan dan Laila segala-galanya.”
Aku mengesat air mata.

“Dibah adalah Dibah. Dibah tak mahu jadi Laila. Dibah nak ada hak, ada bahagian dalam hati abang long,” kataku puas.

Baha terpaku. Adibah sudah melampau. Hantu apa yang telah merasuk wanita penyabar ni, bisik hati Baha. Dibah sudah pandai membantah... protes. Apa lagi yang Dibah hendak? Kan semuanya sudah tersedia untuknya.

Baha sediakan bilik khas untuk Dibah melukis batik dan menenun sutera. Baha beri segala kemudahan untuk Dibah memperkembang kemahiran dan minatnya. Adibah boleh buat kerja bila-bila dia suka – semahunya tanpa gangguan.

Baha tidak halang Dibah balik ke Kuala Terengganu kalau Dibah rindukan nenek. Malah kalau ada cuti, Baha yang hantarkan sendiri.

Kalau Dibah nak belajar lagi Baha sanggup cari tutor. Tapi Dibah enggan. Dibah tuduh, Baha malu beristerikannya yang cuma belajar setakat sekolah rendah. Baha geram dan marah dengan gelagat Dibah terutamanya, bila Dibah mula ‘demandings’ dan pandai ungkit tentang Lailanya.

“Adibah, Abang Long mesti siapkan pelan tu dulu, nanti kita bincang.” Baha meninggalkan aku sendirian. Aku mengeluh kesal.

Aku berjalan ke bilik kerja berdekatan dapur. Terdapat lima buah bilik semuanya, bilik hadapan menjadi bilik kerja Baha lengkap dengan perpustakaan, di sebelahnya bilik tidur. Sebuah lagi bilik tetamu yang berhadapan dengan bilik solat.

Aku memilih bilik yang berdekatan dengan dapur sebahagian tempat menyimpan kesepian, kesedihan dan kedukaanku. Melukis batik dan menenun kain sutera adalah sebahagian cara untuk melekakan aku daripada semuanya ini. Perlahan-lahan aku membuka tingkap yang menghadap padang golf. Hujan renyai-renyai dan malam yang kelam, membuat padang golf kelihatan samar-samar.

Semalam, kata Adik Nur dalam suratnya, berdekatan dengan kampungku pun hendak dibina padang golf. Ramaikah pelancong yang hendak menggunakannya? Ataupun rakyat negara kita sebenarnya cuba menguasai permainan ini pada tahun 2020... Wawasan 2020? Ah, apa yang aku faham tentang pembangunan?

Aku membiarkan tempias hujan menyapa pipiku. Aku mendekati pemidang kain dan cuba mencari ilham untuk baju batik Baha – istimewa sempena ulang tahunnya yang 32 Jumaat nanti.

Selalunya, kawan-kawan atau kenalan Baha sering menempah batik atau kain sutera daripadaku, kadang-kadang aku juga membuat batik untuk hiasan dinding pejabat.

Aku seronok apabila Baha mengantungkan karyaku di bilik pejabatnya. Baha selalu memuji bakatku. Aku bangga mempunyai pendapatan sendiri dan boleh mengirimkan duit tiap bulan untuk nenek, hasil daripada usahaku ini.

Masa dulu-dulu, ketika aku berumur sepuluh tahun, aku telah menjual karya. Bahalah pembeli pertamanya.

“Kawan-kawan Abang Long, tentu cemburu melihat baju batik ini,” kata Baha, apabila pulang untuk cuti semesternya.
Abang Long bayar aku $5 untuk lukisan batik di kemeja putihnya.

“Ini Dibah kasi, bukannya nak jual,” kataku manja.
"Ambillah, buat beli warna atau kain."
Baha meletakkan not warna hijau tu dalam tanganku.
"Kalau Abang Long ada banyak duit, tentu Abang Long beli dengan pelukisnya sekali," gurau Baha.
"Baharudeen, tak baik usik begitu," tegur nenek.

Aku ketawa melihat Baha kena marah.

* * * * *

Sebenarnya itulah kesilapan paling besar yang Baha telah buat. Memberi duit yang besar nilainya kepada budak seusia sepuluh tahun, membuat aku bertekad untuk berhenti sekolah dan menumpukan perhatian kepada seni batik dan sutera.

Aku ingin menjadi pelukis dan penenun yang berjaya. Dan yang paling malangnya lagi, sikap prihatin Baha kepadaku dulu – telah disalah tafsir – membuat nenek percaya Baha mengasihi aku bukan sebagai ‘adiknya’.

Alangkah bahagianya mengenang masa lalu. Kami sungguh mesra dan akrab seperti saudara kandung. Setiap kali Baha bercuti dari asrama, dia sering menemani aku dan nenek menenun sutera sehingga jauh malam. Baha suka duduk di beranda dan memandang ke arah laut. Kadang-kadang Baha akan mengesek biola pusaka arwah Tok Wan.

Di waktu petangnya, kami akan berjalan di gigi pantai. Baha selalu menanam semangat supaya aku berjaya sebagai usahawan. Walaupun begitu, Baha memang marah aku berhenti sekolah.

Kini segala-segalanya tidak tercapai. Sekolahku tidak tamat. Cita-citaku cuma sekadar menjadi impian. Rumah tangga kami muram. Masing-masing dengan haluan sendiri. Baha dengan cita-citanya, aku dan minatku – masing-masing seperti pelarian.

Baha masih mengenang Laila dan aku cemburu kepada Laila yang tiada lagi tu. Sebenarnya aku bukan meminta apa-apa kecuali sebuah pengiktirafan sebagai seorang isteri. Aku cuma mahu dihargai. Salahkah aku? Kenapa Baha mesti menafikan hak aku?

Baha lebih senang berbual dan berbincang dengan para pelajarnya daripada bercakap denganku. Aku semakin kecewa dengan sikap Baha. Kadang-kadang aku terfikir, mengahwini Baha merupakan satu kesilapan besar yang telah berlansung.

Kenapa Baha tidak seperti Abang Long Baha yang aku kenal dulu. Abang Long yang sentiasa menyayangi Adibah. Ah, masa telah merubah segalanya.

Aku sentiasa berdoa dan menanti, agar suatu hari nanti Baha akan mengakui perkahwinan ini bukannya sekadar memenuhi hajat nenek... tapi kerana Baha juga sayangkan aku. Oh, masih adakah suatu hari itu, setelah kami bergaduh tadi?

Aku tak marah jika Baha terus-terus mengingati Laila, kerana aku sedar, siapalah aku. Tapi janganlah sampai anggap aku ni orang asing, tak berhak untuk dikasihi. Seolah-olah semua kasih sayang Baha cuma milik Laila, dan semuanya itu telah terkubur bersama kekasihnya itu.

Kenapa Baha mesti memberitahu aku tentang Laila? Dan kini aku terpaksa bersaing dengan Laila, untuk merebut hati suamiku sendiri. Dan sehingga kini Laila yang menang. Aku tidak pasti perlawanan ini ada berapa pusingan dan pada pusingan yang manakah aku akan menang?

Aku tidak dapat tidur sepanjang malam. Mujurlah suara azan Subuh yang mendayu-dayu dari masjid yang berhampiran telah mengejutkan aku daripada angan-angan. Sedar-sedar Baha sudah menungguku untuk berjemaah, seperti kebiasaannya.

Aku mencium tangan Baha, selepas dia berdoa panjang. Aku menyidai telekung di ampaian besi yang terlekat di dinding. Masing-masing membisu.

“Adibah tak tidur?”
Aku menggeleng
“Dibah, Dibah nak kembali kepada nenek?” Kata Baha kemudiannya.
Air mataku berjurai lagi.
“Abang Long langsung tak sayang Dibah?”
Bagiku, setiap detik... kasih sayangku kepada Baha semakin menebal.
“Abang Long... sampainya hati,” kataku menahan sebak.
“Bukankah Dibah yang pinta semalam?”
Aku betul-betul kecewa dengan kata-kata Baha.

“Dibah akan tetap bersama Abang Long, kecuali Abang Long mengehendaki Dibah pergi,” tegasku, tak malu.
Baha terpaku. Kasihan Dibah, dia benar-benar terluka. Baha menjadi kesal.
“Dibah sayang Abang Long,” tanya Baha.
Aku mengangguk malu.
“Abang Long pula?”
Baha cuma diam.

“Dibah, berilah masa untuk Abang Long. Kerana Dibah pun tahu, sebelum Dibah ada Laila.”
Aku cemburu mendengar nama Laila keluar lagi dari mulut suamiku. Tetapi aku bersyukur, kerana Baha jujur.

Bukankah Nabi Muhammad sendiri pun lebih sayangkan, Aisyah daripada isteri-isterinya yang lain. Tapi... akulah satu-satunya isteri Baha yang sah, tidak Laila! Bukankah Nabi Muhammad juga tidak pernah melupakan Khadijah seumur hidupnya, walaupun Khadijah sudah wafat ketika itu.

Malah Aisyah... sendiri cemburu. Aisyah cemburu bertempat kerana dia isteri Rasulullah. Sedangkan taraf Laila sekadar kekasih... aku ni isteri Baha, rungut hatiku. Berilah Baha masa, aku memujuk rasaku, insya-Allah.

“Dibah benci, Dibah marah kepada Abang Long?”
Aku menggeleng.
“Terima kasih, Dibah. Insya-Allah... Abang Long tak akan mensia-siakan hati Dibah,” kata Baha ikhlas.

Baha mengesat air mata Dibah dengan hujung jarinya. Baha menghulur senyum kepadaku, aku membalasnya dengan seribu rasa sejuta harapan.

Adibah, aku tidak pasti sampai bilakah aku dapat sayang kepadamu, tanpa gangguan bayang-bayang Laila. Antara kau berdua terlalu berbeza dan aku tidak akan lagi terus-terus membuat perbandingan.
Tuhan, ampunilah aku, tunjukkanlah hamba-Mu ini jalan yang terbaik.

Insya-Allah, abang tidak akan menghampakan mu, Dibah. Allah sentiasa bersama-sama kita dengan al-Rahim-Nya. Maafkan aku, Adibah.

terbitan : noor suraya..

SURAT CINTA DARI LEMBAH KUNDASANG

"Posting di mana, Iffah?”
Tanya mama sebaik sahaja aku membuka surat ‘Urusan Seri Paduka Baginda’.
“Haah, Sabah!” Jeritku, apabila membaca isi surat yang telah lama aku tunggu-tunggu.
“Baguslah. Tahniah”
“Mama,” jeritku lagi.

Mama memang tidak sayang kepadaku lagi. Mama sengaja tidak mahu menolong. Mama bukannya tak kenal dengan orang di Kementerian Pendidikan (KP) tu. Kebanyakan mereka kawan-kawan arwah ayah. Lagipun mama sendiri pernah menjadi guru besar sebelum bersara pilihan. Hubungannya dengan orang-orang KP memang cukup baik.

“Iffah sudah besar, tak perlu duduk di bawah ketiak mama lagi.” Pujuk mama, setiap kali aku merayunya agar minta tolong daripada Pakcik Hamdan, kenalan baik ayah yang bekerja di KP tu. Tetapi mama buat endah tak endah aja. Aku geram sungguh. Entah-entah mama pun bersubahat sama; menyuruh mereka hantar aku ke negeri Bawah Bayu tu. Kata mama kita harus cari pengalaman jauh-jauh dulu sebelum menetap di kampung halaman. Pengalaman sesuatu yang amat berharga. Mama, sudah hilangkah seluruh rasa simpatimu kepadaku!

Aku hairan juga.... Aku bukan tak usaha supaya dapat mengajar di KL ni. Semua kaedah telah aku cuba. Yang aku tidak buat, cuma jumpa bomoh dan amalkan jampi serapah saja. Minggu lalu aku telefon kawan-kawan yang kerja kat KP – tapi yalah, mereka tu baru sahaja bekerja di situ – apalah yang dapat mereka tolong.

Aku telah dapatkan surat akuan doktor, kononnya aku masih menderita asthma (sebenarnya telah bertahun aku pulih) Cuma rekod-rekod lamaku membuat doktor percaya dan bersedia memberi surat sokongan. Kalau mama tahu, mampus. Dan yang paling penting, aku talah pun jumpa ahli politik, Dato’ Khalid -- bapa temanku, Khairani. Y.B tu sudah berjanji hendak membantu. Yani tu kan kawan baik aku semasa buat KPLI di Maktab Perguruan Sultan Abdul Halim, Sungai Petani. Jadi tiada sebab bagi bapanya untuk menghampakan permintaan aku yang ‘sungguh mudah’ ni. Aku sebenarnya nyaris-nyaris hendak jumpa Pak Menteri (kalau tak Wan Faezah yang sabarkan).

-- Hushh, macamlah masalah kau tu masalah negara. Bill Clinton pun dapat selesaikan masalah peribadinya sendiri. Sedangkan kau terpaksa bergantung kepada politician untuk isu remeh-temeh ... malu, eh – perli Wan Faezah.

Haah, rasa bagai tak percaya... SABAH, keluhku lagi. Tidak mengapa, hari Isnin ini aku rayu lagi. Kalau telefon sekarang ni pun, tak siapa nak layan cakap aku. Aku faham sangat; tengah hari Sabtu begini, orang pejabat cuma takut traffic jam. Yang perempuannya pula tidak sabar-sabar hendak pulang kerana takut miss Panggung Sabtu.

* * * * *

Iffah menghirup bayu segar pertengahan bulan Julai yang tak malu-malu menyusup melalui jendela kaca yang terbentang luas. Dingin malam menggamit rindu Iffah kepada mamanya. Walaupun sudah lebih sebulan di sini, Iffah masih homesick. Tidakkah Suzana dan Faezah alami seperti mana yang aku rasai?

“Tak adil!” Kata Iffah, tiba-tiba.
“Kenapa?” Tanya Suzana, yang sibuk menyiapkan ringkasan mengajarnya di tengah rumah.
“Mereka tempatkan aku di sini,” kata Iffah
“Aku seronok,” kata Suzana, yang telah setahun di sini.
Iffah mencebik bibirnya. Dia mengalih pandangannya ke arah langit tanpa bulan dan bintang. Malam ini mungkin hujan lagi, jangkanya.
Iffah kemudian menutup kaca jendela. Angin sejuk dari lembah Kundasang meresap masuk dalam badannya walaupun sudah berbalut baju tebal.

Iffah mula terkenang mama yang tinggal keseorangan di KL. Dulu semasa di maktab, walaupun jauh ke utara ... sebulan sekali dia pasti balik menjenguk mama. Selang sehari, pasti dia menelefon mama walaupun untuk seminit dua. Paling tidak, seminggu sekali mengirim surat atau poskad untuk mamanya. Tapi kini mereka terpisah beribu-ribu batu melintasi laut luas. Iffah sudah tak mampu balik.... Apatah lagi nak telefon selalu. Kalau berkirim surat pula, paling cepat lapan hari pergi balik, itu pun kalau mama tidak peram surat tu... mama, Iffah amat rindu pada mama.

“Eh, Iffah ... jangan asyik temenung-menung saja. Dah siap ringkasan mengajar kau tu,” tanya Faezah.
Faezah bimbang, guru Penolong Kanan mereka sungguh tegas. Nanti Iffah kena dera jiwa pula.

“Aku tak suka tinggal di sini, Faezah,” bisik Iffah perlahan.
Faezah cuma tersenyum. Dia masih ingat, dulu pun Iffah mengamuk sakan apabila dia dihantar berkursus ke Maktab Perguruan di Kedah.
-- Kat KL ni ada dua tiga buah maktab, tak kan tak muat aku seorang -- marahnya.

Kemudian apabila Iffah mula aktif berpersatuan dan gila sukan, dia mula sayangkan MPSAH. Ketika mereka hendak berpisah di semester akhir dulu, Iffah yang menangis lebih.
-- Katanya, kenapa ye kursus KPLI pendek sangat! Orang buatlah dua tiga tahun – keluh Iffah.
-- Mengarut betullah kau Iffah -- jerit Kak Zaleha yang tak sabar-sabar balik ke Terengganu.
Kursus itu memang membebankan Kak Leha yang berpisah jauh dengan anak dan suami. Kalau boleh Kak Zaleha nak buat kursus Dip Ed ini melalui gaya pos sahaja. Pelik betul si Iffah ni!
Sekarang Faezahh pasti; Iffah cuma perlukan masa untuk menyesuaikan diri, silap-silap dia akan terus menetap di sini, siapa tahu?

“Menyesal aku buat major Pengajian Melayu ni, kalau tak, tentu aku tak dihantar ke ulu ni,” rungut Iffah lagi.
Suzana cuma senyum sinis setiap kali mendengar leteran dan rungutan Iffah. Kedua-dua mereka bersahabat karib sejak sekolah rendah lagi. Kehadiran Suzana tentu saja menggembirakan Iffah. Tidaklah Iffah rasa keseorangan di sini. Kalau tidak tentulah banjir kaki Gunung Kinabalu ni dengan air mata Iffah. Suzana ketawa sendiri. Manja betul si Iffah ni. Perangainya tak pernah berubah sejak dahulu.

Suzana lulusan TESL dari UPM, jadi sebaik sahaja graduated dia ditempatkan di Lembah Kundasang ini. Sementara Iffah pula menghabiskan tiga tahun di Fakulti Ekonomi & Pentadbiran, Universiti Malaya. Kemudian Iffah bekerja sebagai pegawai SKS di Unit Perancang Ekonomi, Jabatan Perdana Menteri sebelum membuat kursus KPLI. Kebetulan pula di Sabah ini mereka ditemukan sekali lagi. Cuma mereka tidak mengajar di sekolah yang sama sahaja. Tuhan sahaja tahu betapa seronoknya Suzana dapat serumah dengan Iffah.

Di rumah lima bilik ini, mereka tinggal berempat. Suzana, Wan Faezah, Juriffah dan Widuri. Widuri anak jati Sabah keturunan Bajau itu berasal dari Kota Marudu. Gadis kecil molek tu mengajar sesekolah dengan Suzana. Suzanalah yang pelawa Iffah dan Faezah berkongsi rumah dengannya, sebaik sahaja dapat tahu mereka akan ditempatkan di KK. Rasanya kalau tak dipelawa pun, Iffah memang tak perlu malu –malu nak tumpang Suzana. Lagipun bukan senang nak dapatkan rumah sewa sekarang. Lainlah kalau posting bulan dua belas.

Iffah mengeluh lagi. Dari dulu, hajatnya untuk menjadi guru cuma satu – supaya dapat bertugas berhampiran dengan tempat kelahirannya (agar dekat dengan mamanya) – bukannya terpisah jauh ke sini. Titik.

Mama ketawa besar apabila Iffah cerita fasal dia dimarahi pegawai pendidikan sebelum ke Sabah:
- Kalau tak mau pergi, tak mengapa. Ramai lagi yang belum diposting, mereka tu boleh ganti awak. Awak duduk-duduklah di rumah. Kami tak kuasa nak layan orang seperti awak. Oh, satu lagi ... jangan lupa bayar balik penalti RM 40,000 tu. Tapi kalau nak tinggal di Semenanjung juga ... ke Ulu Tembeling bolehlah. Tapi sayang, kursus awak untuk peringkat sekolah menengah – sambungnya lagi dengan nada perli.
Geram sungguh hati Iffah diperli-perli begitu. Akhirnya, mahu tak mahu Iffah telah di sini.

“Alah tiga empat tahun bukannya lama sangat, pejam-celik... pejam-celik, dah boleh minta balik Semenanjung,” pujuk Widuri, yang tahu apa yang tersirat di hati Iffah.
“Wiwi bolehlah cakap begitu. Keluarga Wiwi semua ada di sini. Kundasang dengan Marudu bukannya jauh sangat. Tambang bas berapa ringgit baru,” sahut Iffah.
Mata Iffah berair sedih.

“Bagi aku, empat tahun itu lama. Macam-macam boleh jadi. Bagaimana kalau ada saudara mara yang sakit atau meninggal? Bukannya boleh balik segera. Masalah kewangan pula satu hal. Tiket pula satu hal. Tengok ni, tiket kapal terbang untuk balik cuti bulan November sudah habis bertempah ... sedangkan cuti pertengahan bulan Ogos pun, belum tiba lagi.” Kata Iffah sambil memandang Widuri.
“Dah la tu, harga tiket pula telah naik. Cikgu macam aku ni berapalah sangat gaji sebulan. Kita bukan ada banyak elaun seperti guru-guru dulu. Nak harapkan elaun wilayah, Wiwi pun dapat. Kita tak ada apa-apa keistimewaan di sini ... kos hidup di sini, mengalahkan kat KL.” Ujar Iffah sepuas hati.

“Hushh, sudah pandai mengkritik. Oh, nak reformasi la ni,” balas Wiwi dengan nada mengusik.
“Bersabarlah Iffah, dulu masa kita belajar, guna duit rakyat ... sekaranglah masanya untuk berbakti. Bukannya boleh memilih tempat. Itu pun nasib kita tak kena ke pedalaman Kuala Penyu ke ataupun Long ... Long apa-apa,” kata Suzana, macam ahli politik.

“Kau cakap senang Zana, buah hati kau pun mengajar kat sini,” balas Iffah, pedas.
Memanglah betul kata Suzana, kami yang lepasan ijazah ni lebih bertuah dapat mengajar dalam bandar. Aku bukannya tak pernah dengar cerita, ada guru yang tak dapat sembahyang Jumaat bertahun-tahun kerana masyarakat setempatnya, tiada yang Islam ataupun tak cukup jemaah empat puluh orang. Ada juga yang tak pernah nampak ‘rupa’ ayam, daging dan ikan. Mereka cuma makan ikan sardin dan barangan tin yang dibeli sebulan sekali apabila ke bandar.

“Belajarlah mengenali masyarakat di sini, kata pujangga tak kenal maka tak sayang,” pujuk Widuri.
“Iffah kan calon pelatih terbaik di maktab kita ... tak kan macam ni sikap orang cemerlang?” Perli Faezah pula.
Iffah menarik muka.
“Itulah masa dekat U jual mahal. Sombong. Kat maktab pula tolak lamaran pensyarah, jika tidak ...tak perlulah membuang air mata di sini,” perli Faezah, yang kenal Iffah sejak dari UM lagi.
Iffah menarik muka lagi dan terus masuk ke biliknya.

* * * * *

Hujung minggu ini Iffah terpaksa membawa ahli-ahli Kelab Sains dan Reka Cipta ke pameran sains anjuran mahasiswa Universiti Malaya di Dewan Maktab Gaya. Iffah memang malas nak ke mana-mana kalau hujung minggu. Dia lebih senang memerap di bilik sahaja. Tetapi hari ini dia tiada pilihan, Cikgu Awang Amit minta Iffah jadi guru pengiring. Ya lah, hari ini anak sulung Cikgu Awang akan bertolak ke Australia, jadi Iffah tiada sebab yang kukuh untuk menolak permintaan cikgu separuh umur tu. Lalu di rasanya masa terasa lambat beredar.

Entah kenapa hatinya asyik berdebar saja sejak dari tadi. Tiba-tiba Iffah jadi risau dan mata kirinya berkedip-kedip, tanpa sebab. Hah, jangan percaya semua perkara khurafat begitu!
Tiba-tiba mata Iffah terpaku memerhati jejaka di depanku. Dia?

Malaysia ni rupanya bukannya besar mana, elak punya elak rupa-rupanya kini musuh ketatnya berdiri betul-betul di hadapannya. Iffah jadi gugup dan terus kaku.
Siapa ya, namanya? Yang pasti mereka pernah sesekolah, masa itu Iffah dan Suzana baru di tingkatan satu dan monster ni di tingkatan lima sains. Dia sering memanggil nama aku sebagai Zirafah. Meluat!

Dia tidak banyak berubah berbanding berbelas-belas tahun dulu. Cuma sekarang dia lebih tinggi dan agak cerah. Mungkin cuaca sejuk Kundasang membuat kulitnya begitu. Terang-terang aku mengaku dia kelihatan matang dan tampak lebih kacak dan bergaya daripada dahulu. Yang hanya tersisa mungkin sifat angkuhnya.

“Apa khabar, Cikgu Juriffah Haqim?” Katanya sopan.
Ciss, dia masih ingat nama aku, rupanya. Aku cuma mampu membisu. Benci.

Aku masih ingat peristiwa lama zaman sekolah dulu. Dia kan pengawas di sekolah kami ketika itu. Dia memang suka cari fasal dengan aku. Nama aku selalu sahaja terpampang di notis disiplin sekolah. Dia memang tegas tak bertempat. Yang membuat aku sungguh-sungguh benci kepadanya, selepas itu si monster ni cuba berbaik-baik pula denganku. Ada ke selepas itu dia hendak aku jadi adik angkatnya.

-- Saya tak perlu abang angkat ke, abang baling ke ataupun abang lambung -- Jawabku sombong dan kemudian ketawa besar.
Seronok betul aku melihat wajahnya merah padam menahan malu di depan kawan-kawannya.

Mujurlah, selepas SPM dia ke maktab perguruan. Dengar khabar ‘ayam tambatan’ sekolah tu, kecewa kerana gagal mendapat pangkat satu. Jadi di tahun-tahun berikutnya, aku tidak pernah melihat lagi mahupun mendengar khabar tentang musuh ketatku. Ciss, tiba-tiba mereka ditemukan di sini.

Iffah cuma berdiri di depan dewan tak berganjak. Dia rasa sungguh gugup. Setelah mereka terpisah agak jauh dari pelajar-pelajar, si monster tu bersuara lagi.
“Juriffah masih garang dan degil seperti dulu juga,” katanya.
Siapa dia, hah ... hendak menilai aku? Aduh, kenapa aku tidak berani bergaduh seperti dulu lagi. Kenapa mulut ini tiba-tiba terkunci?

Iffah rasa nak balik cepat-cepat. Kepalanya terasa berdenyut-denyut. Petang minggu ni sungguh malang bagi Iffah.

* * * * *

Sejak itu, boleh dikatakan setiap hari Widuri dan Suzana membawa balik salam daripada Cikgu Khairul Anwar, untuknya. Yalah, sekolah Khairul berdekatan dengan sekolah Wiwi dan Suzana, jadi setiap hari kedua-dua perempuan itu, menumpang kereta Khairul. Kata mereka, Khairul tu ‘lelaki contoh’ dan ‘lelaki harapan bangsa’ di Lembah Kundasang ni. Kalau dah suka sangat kenapa tak memikat? Kenapa asyik nak pasang-pasangkan aku dengan lelaki tu?
Sungguh membosankan. Tiada kerja yang hendak dibuat agaknya, selain daripada mengirim salam buat aku, rungut Iffah.

“Iffah, aku sudah buat kesimpulan, rasanya dia sayang kau lah,” Kata Faezah, sambil ketawa besar. Bencinya aku, jerit hati Iffah.
Suzana dan Widuri mengangguk setuju.
“Ciss, aku akan benci dia seumur hidup,” kata Iffah.
“Betul ke? Aku hairan betul dengan kau ni, Iffah. Tak ada satu pun benda di sini yang kau suka,” kata Widuri seperti kecil hati, macamlah negeri di Bawa Bayu ni teruk sangat berbanding KL – tanah kelahiran Iffah tu.
“Ada, Wiwi!” Usik Faezah sambil mengenyitkan matanya.
“Orang dari Malaya ... cikgu bujang tu lah,” celah Suzana.
Iffah cepat-cepat masuk ke biliknya. Mereka ni bukannya boleh dilayan sangat.

* * * * *

Mulanya, Iffah mengamuk sakan apabila terpaksa bekerjasama dengan Khairul untuk projek Pesta Pantun peringkat sekolah-sekolah di daerah mereka. Kebetulan sekolah Khairul dan sekolahnya menjadi tuan rumah bersama. Tetapinya marahnya tak lama. Iffah sedar, walaupun Khairul tu guru lepasan maktab, tetapi pengalaman serta kebolehan kaunselingnya, menakjubkan. Betullah kata orang, pendidikan tinggi saja bukanlah apa-apa jika tidak bersalut dengan pengalaman. Kita sememangnya didewasakan oleh masa....

Khairul bukan lagi seorang yang suka berlagak dan sombong seperti yang Iffah kenal berbelas-belas tahun dahulu. Dia sebenarnya baik hati ... mungkin Iffah betul-betul nakal dulu, dan memang wajar dia dihukum begitu. Tanpa sedar setahun telah berlalu dan Iffah mulai menyukai sekolahnya. Dia sudah belajar menyayangi pelajar-pelajarnya. Lalu dia sudah mulai jatuh cinta pada lembah bertuah ini.

* * * * *

“Iffah, telefon,” jerit Faezah, yang dari tadi asyik menunggu telefon daripada buah hatinya.
“Siapa?”
“Siapa lagi, pak we Iffah la... Khairul.”

Iffah jadi malu. Nak apa pula dia ni? Dia selalu menafikan hubungannya dengan Khairul. Kata Iffah, mereka sekadar rakan setugas. Tapi si Widuri dan Suzana maupun Faezah tidak pernah mahu percaya pengakuannya. Alasannya mudah, Iffah dan Khairul bukannya sesekolah, tiada sebab untuk mereka mengakui sebagai rakan setugas, kata Faezah.
“Kalau ‘rakan sehati dan sejiwa’ ehem... ehem aku percayalah juga.” Sambung Suzana, yang kini menjadikan rumah sewa mereka sebagai medan lepaknya, setiap kali suaminya, Umair ke padang sukan.
Setelah berkahwin ni, sikap suka menyakatnya menjadi-jadi pula. Iffah sakit hati betul kepada Suzana sejak akhir-akhir ini. Tapi kalau Suzana tak datang, dia rindu pula.

Walaupun begitu, jauh di sudut hati... mereka tak nafikan Khairul dan Iffah memang dengan tulus ikhlas, membuat pelbagai projek untuk pelajar-pelajar di daerah ini. Mereka serius mengendalikan, Klinik Pemulihan Bahasa untuk pelajar-pelajar miskin di daerah ini. Kebanyakan pelajar di sini adalah anak-anak pekebun sayur. Mereka memang tidak mampu ke kelas tambahan. Malah jika ada masa yang terluang, masa tersebut mesti dihabiskan dengan menolong keluarga. Usaha murni Khairul sentiasa mendapat sambutan ramai, dan si Iffah ni sentiasa menjadi pelaksana program Khairul yang paling aktif.

* * * * *

“Kata suka tinggal di Kundasang ni, janji nak menetap terus konon ... tapi kenapa tiba-tiba nak balik?”
“Kalau boleh, saya tak nak pergi jauh daripada Iffah,” kata Khairul dengan mata bercahaya.

Iffah membetulkan tudung kepalanya yang ditiup angin petang dari lembah yang permai ini. Sesekali matanya liar memerhati kiri-kanan. Untuk pertama kalinya keluar berduaan dengan lelaki, membuat hatinya cemas. Kalaulah pelajarnya nampak, tentu teruk pula dia kena gosip. Dalam dunia pelajar inilah antara berita yang paling sensasi – jumpa guru sedang ‘dating’. Bagi mereka, apabila dua orang bertemu mestilah sedang bercinta, tiada sebab lain. Inilah susahnya jadi guru, sentiasa saja ‘public figure’.
“Saya balik ni sebab nak sambung belajar... nak habiskan tahun akhir pengajian luar kampus saya di USM.”

Iffah cuma diam. Kalaulah mama tahu dia berduaan tanpa muhrim begini, pasti teruk dia kena marah. Aduh, mama tak tahu sebenarnya Iffah sudah puas menolak; tetapi Khairul merayunya sungguh-sungguh. Katanya, sangat penting Iffah, antara hidup dan mati.

“Iffah ... dengar saya cakap ni,” kata Khairul.
“Iffah janganlah sedih dengan pemergian saya. Lagipun bukannya lama ... cuma setahun. Cuti semester nanti kita boleh jumpa lagi,” sambungnya perlahan, dengan muka senyum bersinar.
“Saya tidak sedih. Peduli apa kalau setahun atau seratus tahun awak pergi,” tegas Iffah dengan suara yang tinggi dan dibuat-buat.

Iffah mula takut melihat gelagat Khairul akhir-akhir ini yang agak ganjil. Iffah langsung tidak berani memandang Khairul.
“Saya sayang Iffah lebih daripada ... sayang seorang abang kepada adiknya.”
Khairul meluahkan apa yang tersirat di hatinya selama ini. Dari sekolah lagi dia sudah jatuh hati pada gadis manis ini. Tapi Si Iffah ni garang mak datuk, sepatah kita bercakap ... berpatah-patah dia balas, macam murai tercabut ekor sahaja. Sebab itulah mereka asyik bergaduh masa di sekolah dulu. Cepatnya masa berlalu....

Kini Khairul perlu mendengar janji setia Iffah sebelum dia berangkat lusa. Dia ingin memahat rasa kasih Iffah itu, dalam-dalam ke hatinya. Khairul berharap hati Iffah untuknya seorang. Mengapalah si Iffah pura-pura ni tak mahu mengerti dan suka sangat jual mahal. Sejak dari dulu, sikap jual mahalnya tidak pernah berubah. Apabila gadis-gadis teringin benar nak jadikan Khairul sebagai abang angkat... Iffah menolaknya dengan kata-kata pedas. Mengapa susah sangat nak mengerti, dia kan sedang bercakap dalam bahasa Melayu?

Iffah mengangkat mukanya. Mata mereka bertemu lagi. Ada rasa yang bertamu dalam hati..
“Iffah tunggu sampai saya kembali ya, kita didik anak-anak di sini dengan ilmu dan kudrat yang Allah anugerahkan kepada kita....” Iffah masih membisu, hatinya tidak bermaya. Dia tidak suka pada situasi begini.
“Iffah ... Iffah, jangan bagi hati Iffah kepada orang lain ...” pinta Khairul sungguh-sungguh.
“Saya tidak pernah dan tak akan pernah sayang awak, kita kan cuma kawan sahaja. Dari dulu kita dah tahu batas pergaulan ini kan,” kata Iffah.
“Betul?” Tanya Khairul, dengan rasa sungguh terperanjat. Dia terluka dengan pengakuan Iffah. Iffah mengangguk. Dia tidak mahu menjalin hubungan apa-apa dengan Khairul. Titik.

“Saya akan tulis surat setiap hari sehingga hati Iffah terbuka menyayangi saya, Insya-Allah.”
Khairul memandang Iffah semula, dia bukannya cuba merayu pada yang tidak sudi. Sebaliknya Khairul tahu jauh di sudut hati Iffah memang tersimpan ruang untuknya. Kalau tidak masakan mukanya merona merah setiap kali mata mereka bersapa? Cuma masa dan ketika sahaja yang menghalang rasa kasih sayang itu daripada bersemi. Iffah seharusnya diberi perangsang ke arah itu. Dia tu manja, seperti kanak-kanak. Anak tunggal memang macam tu, agaknya. Apa ya yang membuat hatinya keras seperti pualam? Apa yang membuat hatinya membeku sejuk seperti salju?

“Jangan buang masa, Khairul. Saya tidak akan membalasnya.”

* * * * *

Sejak peristiwa itu, hampir setahun dia tidak pernah mendengar khabar apatah lagi berjumpa dengan Khairul lagi. Pada mulanya, Khairul memang menepati janjinya: boleh dikatakan setiap hari Iffah terima surat daripadanya. Tetapi sekadar 21 pucuk surat itu sajalah. Kemudiannya dia berhenti menulis.
Yalah, setelah Iffah membalas surat terakhir Khairul... lelaki itu telah berhenti menulis untuk Iffah. Kenapa surat Iffah yang satu-satunya itu tidak pernah berbalas lagi? Iffah rasa terhina sekali, mungkinkah Khairul sebenarnya sekadar hendak mempermain-mainkan perasaan Iffah sahaja? Sampai di situ sahajakah sayangnya kepadaku. Kadang-kadang Iffah cuba memujuk diri, mungkin suratnya itu hilang di perjalanan atau Khairul sekadar menguji kekerasan hati Iffah.

Tiba-tiba Iffah menangis. Benarkah aku ‘tidak pernah’ dan ‘tidak akan pernah’ menyayangi Khairul? Kalau tidak, kenapa air matanya mudah tumpah kalau terkenangkan Khairul. Aduh, kenapa rasa rindu ini bertambah setiap detik. Rasa cinta itu menusuk halus bersama aliran darahnya. Rasa rindu itu bergetar seirama dengan nadinya. Kenapa? Kenapa baru sekarang aku menyedari yang aku juga sayangkannya. Mengapa ya, rasa aneh ini muncul setelah Khairul lagi tidak mengirim harapan dan memujuk hatiku lagi.

Dan yang paling memilukan, tiada sekeping kad Hari Raya singgah ke kotak suratnya. Miskin-miskin anak-anak Lembah Kundasang ini, mereka mampu juga mengirim kad untukku. Benarkah, Khairul sekadar membalas dendam kerana kesombonganku sendiri? Pedihnya ... hujan di mata, banjir di hati ... karam di jiwa.

* * * * *

Kelmarin mereka menerima guru baru dari Semenanjung lagi, Cikgu Bukhari. Dia orang Kedah, lepasan Diploma Pendidikan dari USM. Sebelumnya dia sudah ada ijazah sarjana dalam bidang Kimia dari Universiti Murdoch (kerana desakan kegawatan ekonomi dia terpaksa jadi guru – dia yang memberitahu Faezah semalam)

Juriffah berharap cikgu yang akan mengajar matematik dan kimia itu mengenali Khairul. Mendengar cerita Khairul pun sudah cukup untuk menutup resah dan rindunya. Dia perlu mendapat kepastian tentang Khairul. Masihkah dia ditawar cinta oleh lelaki itu? Atau mungkin juga Khairul telah bertemu dengan gadis lain. Dan kalau perkara begitu sampai terjadi, Iffah sedia menerima realiti hidup! Cuma tentu sahaja dia perlukan masa untuk melupakan Khairul. Iffah sudah tidak sanggup hidup terapung-apung begini. Terasa dia seperti digantung tidak bertali ....

“Saya rasa pernah tengok cikgu sebelum ni, “ kata Cikgu Bukhari, yang peramah.
Juriffah yang sedang menyuap karipap jadi terpaku. Faezah memandang Iffah dan kemudian mengalih pandangan ke arah cikgu baru itu dengan penuh tanda tanya. Dari kelmarin lagi, Faezah nampak matanya asyik memandang Iffah. Sejak itu hatinya telah berkata yang lain... cikgu baru ni sudah jatuh hati pada Iffah. Iffah tu ada keistimewaannya yang tersendiri, cuma dia tidak sedar daya tarikan yang pada dirinya itu.

“Di mana ya, nama cikgu pun agak ‘familiar’ ...”
“Cikgu dari USM?”
Juriffah menggeleng.
“Kat mana ni,” kata Cikgu Bukhari sambil mengetuk jarinya di meja.

“Cikgu kenal Khairul Anwar Zainuddin?”
Tiba-tiba Iffah membuang malu dan mengambil kesempatan untuk bertanya pula.
Jika tidak, bila lagi dia akan mendapat jawapan dari segala persoalan hatinya selama ini.
“Haa, saya dah kenal cikgu, di bilik Cikgu Khairul ... opss maksud saya, dalam foto di bilik Cikgu Khairul.”

Bukhari rasa lega kerana dapat meneka dengan tepat. Dia ingat lagi gambar Juriffah dan guru-guru lain terletak di atas meja ‘room-mate’-nya tu.

Gambar perjalanan ke kemuncak Gunung Kinabalu – dia pasti kini – di bawah bingkai gambar tu tertera kata-kata klasik yang pelik:
‘Niat hati nak memeluk gunung, tapi sayang tangan tak sampai-sampai lagi ...’

Khairul akan lihat gambar Cikgu Juriffah dengan kanta pembesar. Buah hati saya, kata Khairul dulu. Tiap-tiap hari Khairul akan menulis surat untuk gadis yang dia ‘dakwa’ kekasihnya itu. Tetapi Bukhari pasti tidak satu pun berbalas. Kadang-kadang mereka akan usik-usik Khairul, dah berbalas... Surat Cinta Lembah Kundasang? Khairul cuma tersenyum ... dia tak pernah marah, dia tak pernah kecil hati apa lagi nak bermasam muka. Dia sungguh penyabar. Khairul begitu yakin dan sungguh tekun dalam misinya untuk memikat gadis, yang dia dakwa buah hatinya. Walaupun nampak lucu tapi amat pedih memilukan.

Bukhari dan kawan-kawannya akhirnya terus buat andaian: Khairul Anwar cuma bertepuk di sebelah tangan. Kalau tak, pasti Khairul ada gambar kekasihnya itu secara solo, bukannya beramai-ramai seperti pasukan boria tu. Bagaimanapun Bukhari dan kawan-kawannya tidak berani berterus terang pada Khairul, kasihan pula. Mereka cuma mampu mengutuk gadis tolol yang tak sedar di untung tu kerana tidak mahu membalas cinta Khairul yang sungguh tulus ikhlas. Apa lagi yang dipandang oleh gadis tu ... Khairul kacak, warak dan baik hati. Agaknya, mungkin Khairul tidak kaya; mereka terus membuat kesimpulan. Titik.

“Cikgu kenal dia?”
Hati Juriffah berbunga kembali. Bukhari mengangguk. Dia dapat lihat sinar riang dari mata cikgu muda di depannya. Padanlah Khairul tak pernah ‘give up’, Cikgu Juriffah bukannya calang-calang orang, dia bukan saja jelita, tapi nampak bijak dan sungguh istimewa. Malah sekali pandang pun, Bukhari sendiri sudah terpikat ....

Mereka cuma berselang sebuah meja. Selain Cikgu Wan Faezah tiada guru lain di kantin sekolah ketika ini. Bukhari memerhati tag nama Juriffah sekali lagi. Sahlah perempuan ini!

“Dia sihat?”
Bukhari terkejut dengan pertanyaan Juriffah.
“Cikgu tak tahu agaknya ...”
Mata Iffah membulat. Menunggu penuh Cikgu Bukhari menyambung kata-katanya dengan penuh resah,
“Dia... dah lama tiada?”
“Tiada?”
“Meninggal!”
“Meninggal dunia?”
Cikgu Bukhari mengangguk.
“Dia kemalangan jalan raya, dalam kampus juga. Rasanya dia baru saja kat sana, tak sampai sebulan pun.”
“Selepas kemalangan dia terus koma. Lama jugalah, kemudian keluarganya buat keputusan menanggalkan tiub pernafasan kerana tidak sanggup melihat Khairul menanggung derita,” sambung Bukhari sayu.

Bukhari sempat juga ziarah dua tiga kali, sebelum Khairul dibawa ke Hospital Besar KL. Doktor sudah jelaskan dari awal lagi, sistem sarafnya rosak teruk dan tiada harapan sembuh lagi. Keluarga Khairul bukannya orang kaya, adik-beradiknya ramai. Dalam fikirannya mereka hanya hendak bawa Khairul pulang ke rumah dan adakan bacaan Yasin sahaja.

Juriffah tidak dapat menahan sebak lagi. Rasanya sudah bertahun dia tanggung kesedihan kehilangan Khairul, dan hari ini dia betul-betul kehilangan Khairul untuk selama-lamanya. Badan Iffah jadi seram sejuk dan dia rasa nak muntah. Bukhari dan Faezah kasihan melihat muka Juriffah yang pucat lesu. Mereka dapat meneka perasaan Juriffah terhadap Khairul selama ini. Iffah tidak perlu bersembunyi dengan hatinya lagi. Rasa cinta itu terpancar dari wajahnya yang sendu. Faezah mendakap Iffah dengan erat. Iffah tersedu di bahunya.

Tiba-tiba Juriffah teringat surat terakhir Khairul:

Juriffah sayangku,

Walaupun tidak pernah sepucuk catatan cinta dari Lembah Kundasang pernah mengunjungi saya yang jauh terasing di sini, namun saya masih berdoa dan akan terus berdoa sehingga akhir hayat ini, Insya-Allah agar hatimu kan terbuka jua. Iffah, kalau cinta ... lafazkan lah. Jangan melukai dirimu sendiri dengan memendam rasa hati, cairkan perasaanmu dengan ketulusan cahaya cintaku. Sesungguhnya hidup ini adalah sementara ... dan dalam sementara itulah saya ingin berkongsi dengan mu, Iffah. Oleh itu saya mohon kepadamu: Balaslah catatan ini walaupun dengan secarik kata. Agar sekiranya saya tidak diizinkan-Nya lagi menatap wajahmu lagi, rasa cintamu itu akan tetap menjadi kenangan saya sepanjang zaman.

Gunung pantai tinggi merawan,
Nampak dari Padang Temu;
Buah hati tinggalah tuan,
Ada hayat kita bertemu.

Wassalam.
Yang Tetap Kasih Padamu,
ABANG.

Tuhanku, adakah Khairul juga tahu, yang aku juga sayang kepadanya pada saat ini?

terbitan : Noor Suraya

cerita semalam...

Aku membetulkan lipatan cadar pengantin Azah. Cantiknya, Azah. Dari sebalik cermin aku memerhati wajah lembut Azah yang sedang disolek. Rina dan Zaihan bergilir-gilir menyapu bedak di pipi Azah. Sesekali Azah menolak tangan Zaihan.
"Sudahlah, aku dah macam Cina opera," katanya. Kami ketawa.
"Nak cantik atau tidak?" aku mengusik.
Azah cuma tersenyum.
"Kalau tak mekap tebal sikit, nanti gambar tak fotogenik," kata Rina, sungguh-sungguh.

Menurutku, Azah sudah cukup lawa. Tak perlu bersolek tebal-tebal pun, dia pasti nampak fotogenik, walaupun dengan lensa kamera jenis apa pun. Pakaiannya sungguh sederhana, baju kurung moden daripada 'lace' warna krim diserikan dengan tudung labuh dari warna serupa.

"Tahniah Azah," kata Hanah, yang baru muncul dengan sekotak hadiah. Hanah juga menghadiahkan kucupan di pipi gebu Azah.
"Awas cat basah," kata Zaihan, sambil membetulkan solekan Azah semula. Kemudiannya Hanah mencium kami semua.
"Maaf lambat, aku tak dapat cuti awal dan penerbangan tertunda pula. Rugi aku tak ada masa majlis berinai semalam," kata Hanah, yang bertugas sebagi pegawai penyelidik di Universiti Pertanian, cawangan Sabah.

Ah betapa cepatnya masa berlalu. Rasanya baru sahaja – aku, Azah, Rina dan Zaihan – di alam remaja. Tiba-tiba kami dikejutkan dengan kad undangan Azah. Hujan tidak, angin tidak, tiba-tiba Azah buat cerita yang menggegarkan dunia kami.

Kami berlima rapat sejak di tingkatan satu lagi. Sama-sama suka berkelahi dengan budak lelaki. Kami ni antilelaki biar pun bagaimana baik atau tampan pun mereka.
Walaupun begitu, Rina dan Hanah tidaklah seradikal kami. Manakala Zaihan lebih terikut-ikut keletah kami – aku dan Azah - saja. Azahlah 'presiden' kelab tolol tu. Sementara aku ni sebagai 'setiausaha tetap' selalu sahaja mereka cipta pelbagai hal untuk menyakiti budak-budak lelaki di kelas kami.

Kami selalu bergaduh dengan Azli yang sering mencari-cari siapa yang tidak solat Zuhur di surau. Mentang-mentanglah dia tu orang kuat surau dan menjadi kesayangan ustaz.... Dia tak belajar agaknya, yang orang perempuan ni setiap bulan diberi 'cuti' khas oleh Tuhan.

Sesekali kami suka membuli Khairudden, pelajar Melayu genius kelas kami. Sebagai Penolong Ketua Pengawas sesi petang, dia selalu ugut hendak tulis nama aku dan Azah yang suka makan dalam kelas. Malangnya, budak pemalu dan pendiam tu tidak pernah berani melaksanakan ugutannya tu.

Kami selalu menyiasat kes yang mengarut-ngarut: sama ada Cikgu Salim seterika bajunya atau tidak, dan apa yang Cikgu Zarina buat lepas sekolah. Kami lah yang dulu dapat menghidu cerita tentang hubungan asmara Cikgu Rose dengan Cikgu Mahadir. Itu semuanya berlaku semasa kami di tingkatan satu dan dua, semasa kami sedang gila membaca novel penyiasatan Nancy Drews dan Hardy Boys. Alangkah indahnya masa lalu.

"Bukalah tudung tu, sekali umur hidup nak melawa apa salahnya," desak saudara Azah, selepas bersalam dengan Azah.
Azah tidak mengendahkan permintaan saudaranya tu, dia cuma tersenyum sambil membetulkan letak tudungnya semula.

Sejam lagi istiadat ijab kabul akan berlangsung dan Azah akan bergelar 'puan'. Sejak tadi ramai ahli keluarga Azah, berharap Azah akan menanggalkan tudungnya. Tapi aku pasti, tak seorang pun akan berjaya berbuat demikian.

Aku ingat lagi, dulu semasa Ustaz Hamzah suruh kami memakai tudung; kami melenting. Ketika itu, tidak seorang pun pelajar perempuan Islam di Tingkatan 4 Sains 1 yang bertudung, meskipun kami berbaju kurung setiap hari ke mana-mana. Masing-masing ada gaya tersendiri.

Azah dengan rambut ikalnya separas bahu; Hanah pula fesyen 'baby doll' begitu juga Zaihan; Rina dengan fesyen dandan dua ala 'Red Indian'; dan aku sediri pula, potong pendek macam 'Lady Di'. Puas Azli mengingatkan kami tentang dosa dengan membaca hadis dan ayat al-Quran, tapi kami buat tak kisah pun.

Setahun kemudian, semua pelajar 5 Sains 1 terkejut bila aku bertudung. Entah tiba-tiba sahaja hatiku terbuka. Alhamdulillah, kata Azli dan Khairudden. Perubahanku diikuti oleh Hanah, Zaihan dan kemudiannya Rina. Cuma Azah yang tertinggal.

Tapi lihatlah sekarang, Azah mendahuluiku bertudung labuh. Sedangkan aku, masih macam dulu; yang menyedihkan lagi... akhir-akhir ini tudungku semakin pendek dan berwarna-warni. Sudah sampai masanya aku mesti berubah, bertudung labuh!

Tiga tahun di ITM, mengubah Azah. Dia sudah tidak gila-gila lagi. Namun begitu apabila bersama kami, dia masih Azah yang kami kenal dulu. Lima tahun di Sydney, Australia, menjadikan Hanah seorang Muslimah sejati. Dia berjubah dan bertudung litup. Zaihan pun sewaraq Hanah, meskipun tidak berjubah.

"Salina, apa khabar?" Nora mengejutkan aku.
"Alhamdulillah." Kami berpelukan seketika.
"Ah, Nora semakin jelita tak hairanlah kalau ada yang makan hati," usikku.

Sejak dulu, Nora memang ramai peminatnya. Sebab itulah dia tidak terpilih menjadi ahli kelab kami (padahal, kalau diajak pun dia tidak berminat). Sebabnya cuma satu: Nora tidak sanggup melupakan 'peminat-peminat'-nya tu. Aku lantas memeluk Mim dan Zana seerat-eratnya. Walaupun mereka bukannya ahli 'Kumpulan Setia Berlima' tetapi mereka juga adalah rakan-rakan sedarjah yang kami kasihi, yang kami ingati.

Selepas habis tingkatan 5, semuanya membawa diri. Zana ke UTM; kini menjadi guru dan mengajar di Bintulu, Sarawak. Nora menjadi kerani Bank Simpanan Nasional Alor Setar. Sementara Mim masih di ITM, menyambung kursus Acountancy – tak habis-habis belajar; rungut Zaihan. Inilah kali pertama kami berlapan dapat berkumpul sama-sama lagi setelah tujuh tahun tidak berjumpa.

Bilik pengantin Azah menjadi riuh rendah. Teruk Azah kena usik. Masing-masing nak bergambar dengan dengannya. Aku tumpang gembira, tapi terasa ada yang tidak kena denganku. Aku rasa suatu kehilangan. Baru saja enam bulan sudah, sebelum aku 'graduate' dan dapat kerja, Azah, Hanah dan Zaihan menziarahi aku di kampus. Ketika itu Azah kata dia masih solo dan akan solo untuk beberapa tahun lagi, jodohlah katakan. Azah sendiri tidak pernah kenal dan berkasih dengan Mazlan.

"Siapa pula lepas ni," tanya Mim, yang sudah ada calon suami; yang sama-sama belajar dengannya.
"Sudah gaharu cendana pula," usik Zana, sambil menyiku aku.
"Bukan aku, tau," kataku cepat-cepat, apabila semua mata memandang aku.
"Aii, jangan kata... tengok Azah ni... angin tidak, hujan tidak... tapi dia yang mendahului kita. Aku yang menjadi 'Miss 5 Sc. 1' tiga penggal berturut-turut pun kalah." Usik Nora disusuli dengan ketawa.
Azah senyum juga. Senyuman selamat tinggal masa remaja.

"Oii, kelab kamu dah kekurangan ahli lah ni. Nak cari 'presiden' baru?" tanya Zana tiba-tiba.
Oh, rupanya dia masih ingat kelab tolol kami tu.
"Bukan 'presiden' saja yang hilang, ada yang nak letak jawatan juga, ni," kata Rina.
Zaihan dan Hanah tersenyum, terasa diperli.
"Nora nak ganti ke?' tanya Rina yang sudah bertunang.
"Eh, aku dari sekolah lagi tak berminat dengan kelab kaki gaduh dengan budak lelaki kau orang tu," kata Nora.
"Aku tak rela jadi andartu," sambung Nora. Candanya diiringi dengan ketawa kecil.

Hatiku tersentuh. Azah juga tidak menyampuk lagi. Mukanya bercampur-campur antara gemetar dan gembira. Sesekali dia mengerling jam tangan Mim, yang duduk di sebelahnya.
"Lagi setengah jam, Azah," kata Mim, cuba bercanda lagi.

Aku tahu , Azah cukup dewasa untuk menentukan haluan hidupnya. Mazlan, bakal suaminya itu Pegawai Perancang Ekonomi. Pasti mereka secocok, sama-sama kerja kira duit kata Zaihan semalam. Azah yang bekerja sebagai juruwang di Bank Islam tu, ketawa. Aku dan Zaihan memang datang lebih awal. Kami ni bukan sekadar rakan karibnya tetapi ada bau-bau bacang juga dengan Azah. Tambahan pula aku ni kan, mewakili keluargaku yang tidak dapat menghadirikan diri.

"Aku ulang semula, bila lagi giliran kau, Salina." Tanya Mim.
Semua orang diam. Masing-masing menunggu jawapan daripadaku.

"Jangan semua nak tanya aku," kataku serba salah.
"Yalah, dia kan pemangku 'presiden' bila Azah keluar ni, tak payahlah tanya dia," perli Nora.
"Bukan aku."
Aku jadi gelabah.
"Oh, kalau tak nak jadi 'presiden' seumur hidup, cakaplah siapa pilihanmu. Tak kan itu pun nak berahsia," usik Mim lagi.

Aku cuma membisu sambil melihat jam di meja solek. Akad nikah 20 minit lagi. Dadaku yang berdebar-debar lebih. Aku merenung mereka dengan sayu. Selepas ini kami semua akan berpisah lagi. Entah bila pula dapat berkumpul semula. Kenduri Azah ni kebetulan bulan raya, semuanya pulang bercuti.

Aku merenung Azah semula.
"Kau bila lagi, Salina?" tanya Azah semalam, ketika aku dan Zaihan leka menjahit labuci di tudungnya. Aku pura-pura ketawa besar. Zaihan mengenyit matanya.
"Dari dulu kami susah nak tahu apa yang tersirat dalam hati kau, Salina," kata Azah, dengan tangan berbalut inai.
"Cakaplah, kita ni kan dah macam adik beradik." Pujuknya lagi.
"Tengok tu Zaihan, orang kalau dah nak kahwin, dia nak semua orang di sekelilingnya kahwin juga," pintas aku sebelum Azah habis bercakap.

Zaihan ketawa risik punya risik aku tahu, lepas Azah, Zaihan menunggu giliran sahaja untuk bersatu. Begitu juga dengan Hanah dan Rina, masing-masing sudah ada pilihan sendiri. Tentulah Azah risau, melihat 'setiausahanya' masih sendiri. Mungkin dia rasa bersalah, menanam semangat anti begitu, kepadaku dulu.

"Jangan tunggu lama-lama, kita dah nak masuk suku abad. Zaman mak-mak kita dulu sudah beranak tiga. Perempuan... kalau sampai umur 26 tahun masih juga solo, peluang nak kena barah rahim tinggi," kata Zaihan, lepasan sarjana Zoologi dari California.

"Eh, kau ingat kerja sebagai wartawan tak payah kahwin, tak payah berkeluarga," kata Azah.
Amboi, berubah betul, bekas 'presiden kelab' kami ni.
"Aku tak kata begitu, adik-adikku ramai. Apa pun aku mesti utamakan mereka," jawabku.
"Alasan lah tu," kata Zaihan, memandangku penuh curiga.

Mujurlah Mak Cik Yah, emak Azah menyelamatkan aku. Tiba-tiba dia masuk ke bilik dan mula bising. "Eh, pengantin tak boleh tidur lambat, nanti esok tak berseri."
Dia membuka inai di jari Azah. Dan aku terus pura-pura tidur. Zaihan dan Azah kemudiannya terpaksa tidur juga, kerana tiada kawan untuk mereka 'nasihati' lagi. Kami tidur bertiga.

"Eh, jangan banyak angan-angan." Nora menyiku.
"Orang kalau sedang bercinta tentu banyak berangan, tak percaya tanyalah aku," kata Nora lagi.
"Aku bukan nak berahsia, aku ni memang bujang senang," kataku sambil ketawa.
"Takut aku," celah Rina, yang menjadi tutor di ITM, Arau. Mim memegang tanganku.
"Eh, sejuknya tangan. Orang kalau sedang berbohong memang sejuk tangannya." Usik Zana sambil meraba telapak tanganku.

Aku memandang Azah. Cuma dia yang tidak mengusik aku. Adakah dia sudah tahu rahsia hatiku? Sudahkah dia tahu segala-galanya? Memanglah dia temanku yang paling akrab, tetapi aku tidak pernah bercerita apa-apa pun kepadanya sejak dulu. Apatah lagi apabila kami belajar dan bekerja di tempat yang berasingan pula. Kalaulah Azah tahu 'setiausahanya' sudah berpaling tadah sejak lima tahun dahulu, alangkah malunya aku!

"Eh, tak kanlah di USM tak ada orang yang suka pada kau," tanya Hanah, mencari kesempatan. Aku menggeleng.

"Aku tak percaya wajah pan-Asia macam kau ni tak ada peminat, itulah suka jual mahal," kata Nora.
"Aku tak kan pernah lupa profil gadis 14 tahun yang hampir-hampir muntah apabila menerima surat pertama dari abang 'senior'," ujar Mim, diikuti dengan gelak ketawa. Aku pun turut ketawa mengingatkan peristiwa dulu tu.

Aku ingat lagi surat dari Zek tu diedarkan di seluruh Tingkatan 2A1. Teruk aku kena ejek. Dan kalaulah mereka tahu sehingga sekarang pun aku masih fobia begitu, tentu teruk aku kena 'hentam' dengan mereka pagi ini!

Aku masih gementar, takut dan rasa nak muntah apabila menerima huluran perkenalan atau surat daripada lelaki. Wah, begitu besarnya pengaruh 'kelab' tolol tu kepadaku?

Aku kan seorang wartawan. Aku ni pula bekas pelajar 'journalism'. Bulan Julai ini genaplah usiaku 25 tahun. Tapi aku masih berkelakuan seperti budak-budak saja.

Kalaulah mereka tahu, aku tidak berani ke kuliah semata-mata sebuah salam perkenalan dari seorang bakal guru, pecahlah perut mereka ketawakan aku. Kalau mereka tahu, aku gagal dua 'paper' kerana hampir dipaksa bertunang dengan pilihan orang tua, pasti mereka kata aku ni pondan. Kalaulah mereka tahu, aku juga pernah demam apabila menerima surat cinta dari seorang teman sekursus, pasti si Nora suruh aku mandi bunga.

Aku tidak pernah takut bertemu dengan Pak Menteri atau mengendalikan kes-kes jenayah untuk ruangan akhbar. Dari dulu, aku memang berani bertekak dengan 'budak lelaki' mana-mana pun, di mana-mana pun. Cuma sehingga kini yang paling menakutkan aku ialah apabila: kena 'approach' dengan budak lelaki. Lutut aku rasa nak tanggal kerana menggeletar.

Itulah aku, Salina Arief Mansor. Salina yang boleh beraksi di depan seribu penonton dalam pertandingan Debat Antara Universiti. Salina yang pernah mewakili sekolahnya dalam pelbagai jenis pidato dan pertandingan perbahasan. Kenapa ya, aku mempunyai dua peribadi yang berbeza? Diakah puncanya?

"Sudah lah tu, kamu semua tak beri perhatian kepada aku yang menjadi pengantin ni," kata Azah seakan merajuk. Terima kasih Azah kerana menyelamatkan aku dari terus kena 'ambush' ni.

"Assalamualaikum," kata Azli. Di belakang Azli, isterinya yang sedang sarat mengandung.
"Tak pakai jilbab pun, dulu dialah sibuk kempen kita," kata Zana perlahan.
"Mujurlah dia bising, kalau tak kita masih buka aurat," pintas Hanah, Zaihan mengangguk setuju.

Majlis akad nikah berlangsung pada pukul 10.45 pagi, hanya dengan sekali lafaz akad sahaja. Kami mengaminkan doa dan mencium Azah. Sahlah Azah menjadi isteri Mazlan Hanif.

Dalam celah-celah kesibukan Mazlan dan kerabatnya masuk ke bilik menyarung cincin berlian di jari manis Azah, aku terpandang Khairudden. Aku tergamam, lututku mula menggeletar dan tanganku berpeluh sejuk. Mimpikah aku? Dia sedang mendukung erat anak berwajah 'mat saleh'. Budak yang berumur hampir tiga tahun itu mencium pipinya bertalu-talu.

Anak dia? Oh, itu kan isterinya: berambut perang dan memakai baju kurung batik tulis warna oren.

Air mataku jatuh berderai. Kenapa dia mesti datang merosakkan kegembiraan ku pada saat ini? Tujuh tahun aku menunggunya tanpa sebaris kata. Tak pernah seorang pun yang tahu. Tak pernah seorang pun tahu... tentang isi hatiku selama ini. Siapakah yang akan percaya, dialah yang aku tunggu selama ini. Dialah di hatiku.

Walaupun dia tidak pernah menjanjikan apa-apa, namun menerusi Azli aku tahu dia menyukaiku. Kukuhkah itu, untuk membuat aku menunggunya sehingga tujuh tahun? Kesetiaanku selama ini berkecai. Den, bukan sahaja belajar di UK tetapi juga kahwin dengan orang UK, kenapa aku tak pernah tahu? Kenapa beritanya tak pernah sampai kepada kami?

Ah, bodohnya seorang Salina Arief Mansor, menenun angan-angan kepada 'dia' yang tidak pernah tahu. Dengan berbekal doa, aku menggantung seluruh harapan. Rupa-rupanya dia telah hilang rasa. Dulu masa Azli memberitahuku hasrat Den, memang aku marah. Tentulah Den ingat harapannya tidak bersambut. Kemudian rasa aneh itu berputik di hatiku. Aku memang tidak berani berterus-terang. Tetapi aku ingatkan Den sedar. Aku sudah tidak nakal-nakal lagi dalam kelas. Aku tidak lagi mengusik atau bergaduh lagi dengan mereka. Aku sudah mulai menjadi seorang wanita!

Sayangnya, selama ini aku cuba menafikan dan memujuk diri bahawa tanpa sepatah kata dari Kota London, sebenarnya bukan menunjukkan dia telah melupakan aku. Mengapakah aku tidak menghapuskan 'teori' itu sejak tujuh tahun dulu. Kenapa aku begitu leka membuai rasa yang tak pasti? Air mataku jatuh tiba-tiba.

"Janganlah sedih melihat masjid dibina," kata Zaihan sambil menepuk bahuku.

Aku senyum walaupun hatiku rasa nak pecah, dengan penuh yakin dan berbekalkan doa, aku tolak yang lain semata-mata menunggunya. Mungkin ada hikmah lain yang Tuhan janjikan untukku. Hmm, selama ini aku membiarkan rasa 'phobia' takut pada semua lelaki untuk mengekalkan kesetiaanku padanya. Tetapi pengakhiran ceritanya tidak seperti yang aku harapkan.

Aku berserah pada-Mu, Tuhan. Berilah aku sedikit lagi kekuatan untuk meraikan Azah.

Den menyerah budak comel tu kepada isterinya. Anaknya melambai ke arah kami. Khairudden juga tersenyum kepada kami. Kepadaku? Salina, jangan nak perasan lagi! Selepas bergambar, mereka membawa Azah ke depan.

Aku tidak berminat untuk mengikut lagi. Aku mencapai beg tangan dan kamera Nikon menuju ke bilik belakang. Aku cepat-cepat mengemas beg. Memasukkan bunga telur yang Mak Cik Yah kirimkan untuk ibu. Cuti tinggal dua hari lagi. Aku bercadang untuk balik ke KL lebih awal. Berehat. Merawat luka.
"Eh, nak balik dah?" tanya Zaihan.
"Aku kerja esok," bohongku, dengan rasa sungguh berdosa.
"Kata nak ke Langkawi dulu," kata Zaihan.
Pada mulanya, aku memang nak mengiringi Azah bertandang ke rumah mentuanya di Langkawi. Lepas tu kami boleh berehat-rehat sebelum terbang dari sana ke KL.

"Aku baru ingat, tok aku kata, orang tak kahwin lagi tak boleh iringi pengantin, nanti tak kahwin terus," kataku, cuba melawak.
"Azah nak jumpa kau. Dia ajak makan sehidang dengan pengantin... cepatlah semua ada. Kita berlapan, Azli dan isterinya, juga Khairuden 'reunion'." Kata Zaihan sambil menarikku ke depan. Aku mencapai beg tangan dan kamera semula.

Aku duduk di sebelah Azah. Di sebelah Mazlan, Khairuden. Di hadapan Den, isterinya yang sedang berbual dengan lelaki berjambang.

Aku makan juga, meskipun susahnya nak menelan. Rupanya, teruk juga ya patah hati ni.

Azah menghulurkan tisu daripada Khairudden. Aku nampak tulisan di dalamnya. Sambil memandang Zaihan yang sedang berbual dengan isteri Azli, aku cepat-cepat membaca.
Cik wartawan, aku ingin 'mengeditmu' – Khairudden.

Aku hampir ketawa membaca perkataan 'edit' tu. Maknanya 'sunting' dalam bahasa persuratkhabaran. Sunting tu maknanya 'lamar' dalam kamus Melayu. Kemudiannya aku marah, sudah beranak-pinak, masih nak berjenaka denganku macam tu.
"Khairudden serius Salina, itu yang aku cuba nak beritahuku kau semalam," bisik Azah.
"Tapi budak tu dan..."
"Daniel, anak abangnya dan Sarah tu kakak iparnya. Azli kata, dia tunggumu sejak dulu. Tapi kau jual mahal, lagipun mana dia berani... kau kan 'setiausaha kelab' kita," kata Azah.

"Den baik Salina, terimalah dia. Dia terbang balik ni... khusus untuk berterus-terang dengan kau tentang hasratnya yang terpendam." Pujuk Azah, kemudian menghabiskan nasinya.

Sebenarnya Azah tidak tahu, aku tidak perlu dipujuk-pujuk lagi. Aku sudah takut untuk jual mahal lagi. Aku memandang Khairudden yang telah banyak berubah. Khairudden senyum dan mengangguk. Aku membalasnya. Rasa bahagia menyelinap seluruh nuraniku, Alhamdulillah. Azli menunjukkan ibu jari ke arah kami, tanda puas. Terima kasih Azah! Terima kasih Azli!

"Jangan kata tidak." Pinta Den sungguh-sungguh dalam riuh bunyi kompang.

terbitan: nursooraya..

Rabu, 27 Mei 2009

cukuplah sekali...

ini merupakan aper yg telah ku baca ,,,
ku harapkan semua dapat membaca cerita ini..


cukuplah sekali...

Umur aku 25 tahun. Sejak awal lagi aku tidak mahu berkahwin dengannya. Bagi diriku, tiada siapa yang boleh ganti Abdul Hadi dalam hidup ini. Aku masih sanggup menanti Adi lebih tujuh tahun, walaupun kami tidak pernah berjanji apa-apa. Dan yang lebih menakjubkan lagi untuk sekian lamanya, tidak pernah ada khabar berita daripada Adi – tetapi aku masih setia dan tak pernah jemu-jemu menunggu....

Bagaimanapun apabila aku di tahun akhir, kesetiaan aku teruji apabila Nazrin bersungguh-sungguh melamarku. Dia teman sekursusku dan ingin aku tegaskan di sini, dia orang Pantai Timur! Nazrin mula memikatku sejak aku di tahun dua lagi, tapi aku tidak pernah hiraukannya. Aku sendiri tidak tahu apa yang dia pandang ke dalam diriku... kerana aku tiada apa-apa keistimewaan pun. Nazrin tu baik orangnya... penyabar dan suka berkelakar. Aku selalu terhibur dengan jenaka dan gelagatnya.

Semua orang senang kepadanya. Dia begitu pandai menyesuaikan diri dalam apa jua keadaan pun. Dia begitu istimewa dan memikat siapa sahaja... tetapi tidak aku! Sikap periangnya yang begitu seperti cuba menutup kesedihan di hatinya. Lalu tiba-tiba aku diminta untuk membalut lukanya. Sejak awal, aku dapat tahu dia pernah dikecewakan.... Sebenarnya, aku tidak pernah mau percaya cinta kali kedua seorang lelaki.

Nazrin lain, semua orang berkata begitu. Dia ‘gentle’ dan bertanggung jawab, kata mereka. Itu aku tidak pernah nafikan. Apabila ada kerja-kerja studio sehingga larut malam (malah kadang-kadang sampai ke subuh), dialah yang temankan kami: Yatie, Kagee, Salma, Hasina dan aku, pulang ke asrama masing-masing. Dalam gelap dan sunyi dinihari di kampus – dia seolah-olah panglima yang sedang mengawal tuan-tuan puteri ‘berangkat ke keraton’. Dia tidak pernah sekalipun mengambil kesempatan ke atas kami. Tutur katanya sopan, budinya terpuji. Lalu kadang-kadang aku terpesona dengan seluruh kebaikannya.

Namun sikap kelakarnya yang kadang-kadang tak tentu arah – membuat aku sendiri tidak faham, yang mana satu serius dan yang mana satu jenaka. Itulah yang membuat dia gagal menandingi Adi. Dia masih bukan apa-apa jika dibandingkan dengan ‘Hadiku’. Adi yang telah aku simpan hatinya sejak hatiku mula dijentik dengan rasa cinta, bertahun-tahun yang lalu.

Adi lebih bijak dan serius serta pendiam (tetapi kena pada tempatnya). Jadi secara dasarnya, walaupun antara aku dan Adi memang banyak bezanya. Namun Adi tetap memikat hatiku. Adi tu lebih meminati ‘English’, Matematik Tambahan dan Fizik. Sementara aku lebih suka Bahasa Melayu dan Biologi. Tentu sahaja Adi bertuah kerana terpilih ke UK, mengikuti kursus ‘Quantity Survey’ selaras dengan minat dan cita-citanya.

Sedangkan aku? Aku pula, gagal menjadi seorang doktor seperti mana cita-cita asalku. Lalu aku terpaksa melalui jalan jauh yang jauh - meneruskan pengajian di tingkatan enam, dan selepas ‘graduate’ dari universiti aku bekerja sebagai ‘copy writter’ untuk sebuah syarikat iklan yang terkenal – Leo Burnett. Setelah beberapa lama kemudiannya, aku dilantik menjadi akaun eksekutif di syarikat iklan yang sama. Gajinya memang lumayan... dan aku mulai menempa nama di Kuala Lumpur ni.

Dan tanpa sedar masa pun terus berlari – untuk sekian kalinya, Nazrin terus-terus melamarku. Aku jadi serba salah. Walaupun kami sehaluan – maksud aku, sama kursus serta mempunyai latar belakang pendidikan yang hampir-hampir sama di universiti – tetapi dia tidak pernah sama dengan Adi di hatiku.

Aku tidak tahu, kenapa sampai jadi begitu... Ketika di sekolah dulu, Adi bukannya kacak di pandangan mata orang tetapi dia tetap ‘handsome’ di penjuru mataku. Rambutnya hitam dan kerinting macam mi Maggie saja. Badannya agam: tinggi dan tegap – jadi tak hairanlah kalau dia senantiasa terpilih mewakili pasukan ragbi daerah (pasukan ‘All Brown’). Kulitnya hitam kata semua orang... cerah juga, menurut kata hatiku. Yalah, hitam-hitam si buah manggis walaupun hitam ku pandang manis.

Mukanya berjerawat pula... tetapi masih segak, bagiku. Bibir Adi lebih tebal berbanding pelajar lain, kata orang. Namun dalam hati, diam-diam aku tuduh mereka semua amalkan dasar ‘apartheid’ terhadap Adi. Bagiku dia sudah cukup tampan, terutamanya kerana dia memiliki sepasang lesung pipit yang cukup menawan. Bagiku, Adi istimewa dalam ‘darjahnya’ yang tersendiri! Sampai bila-bila pun akan aku ingat raut wajahnya tu.

Aku tidak pasti bila aku mula ada hati pada Adi. Sebelumnya, kami memang musuh ketat. Betullah kata pujangga: antara benci dan cinta cuma ada suatu jarak yang halus. Mulanya kami sering bertengkar, lama kelamaan entah kenapa, kami jadi malu-malu pula. Kami tidak lagi bertegur sapa dan bergaduh seperti dulu. Adi jadi bertambah-tambah pendiam. Dia sudah tidak mengusik aku lagi. Teman-teman rapatnya kata, Adi suka padaku. Suka kepadaku? Cinta!

Awalnya tentulah aku marah. Mahu sahaja aku ketuk-ketuk kepalanya yang sekaki lebih tinggi daripada aku tu. Kemudian perasaan aneh itu terus menular di hatiku. Diam-diam aku menyukainya hingga saat ini. Aku faham sifat Adi yang pemalu. Tentu saja dia sukar meluahkan segala yang tersirat dalam jiwanya, pujuk hatiku setiap kali terkenang pada Adi.

Akhirnya aku terpaksa memberitahu Zureena, sahabat karibku semasa zaman sekolah, tentang Adi.
“Apa Adillah, kau suka Adi ...” Zureena mengucap panjang.
Mata Zureena terhenti daripada memerhati kedua-dua anaknya, setelah mendengar pengakuanku.
“Haa, baru sekarang kau nak cakap pada aku? Kalaulah Nurazah, Ruzita dan Hanim tahu dulu... teruk kau,” sambung Zureena, kemudian ketawa kuat.

Di sekolah dulu kami memang anti pelajar lelaki. Di dalam kelas selalu sahaja meletus perang saudara. Masing-masing nak jadi top dalam kelas... juara dalam semua bidang. Kami ni kononnya terpengaruh dengan ‘woman’s lib’ di Barat. Namun biasanya aku yang pemalas ‘study’ ni tak pernah berperang dalam pelajaran. Aku akan serahkan tugas mencabar ini pada Zureena dan Hanim atau Ruzita yang sememangnya bijak serta rajin pula. Aku dengan Nurazah kalau setakat nak berbahas dengan mulut dan bertegang leher memang mahir. Maklumlah kami ni pasukan debat sekolah yang kena ‘reject’. Itu sahajalah kemahiran kami, menjadi loyar buruk.

Adi adalah musuh tradisi kami (tentu sahaja sebelum aku mula jatuh hati kepadanya). Adi memang seorang yang ‘genius’, dari tingkatan satu sehinggalah di tingkatan lima, tempat pertama dia yang bolot. Dia juga pernah muncul sebagai ‘best student’ dalam SPM, namanya terpampang besar dalam dada akhbar (dan aku tumpang berbangga dalam diam-diam). Sebelum meneruskan haluan masing-masing dulu tu, aku masih digiat-giat dengan Adi sementara Hanim pula dengan Shafiq. Zureena mungkin tak percaya aku betul-betul ‘take serious’ dengan usikan mereka lalu terus memendam rasa halus dan aneh itu sehingga bertahun-tahun lamanya.

“Dillah, untuk apa kau tunggu pada yang tak pasti seperti Adi tu. Entahkan di luar negara tu... dia ada ‘girlfriend’ keliling pinggang. Sedangkan Dillah kat sini setia tak bertempat.” Kata-kata Zureena terasa begitu tajam tertusuk ke gegendang telingaku.

Aku cuma diam. Semenjak jadi mak-mak ni, Zureena memang kuat berleter dan suka menasihati kawan-kawannya. Dari seorang ‘botanist’ dia kini bertukar menjadi kaunselor pula – suka menasihati orang saja. Luculah, Zureena sorang ni. Zureena sungguh bahagia kini. Ada suami yang ‘understanding’ dan sepasang anak yang comel. Kini mereka sekeluarga sedang menanti kelahiran orang baru lagi.

Zureena tidak bekerja meskipun memiliki ijazah dalam bidang Botani dari Amerika Syarikat. Zureena mahu anak-anaknya membesar di depan matanya, bukannya di tangan orang gaji. Dia selalu berkata dengan bangganya, “walaupun aku tak jadi ahli botani tapi lihat halaman rumah aku dah macam ‘botanical gardens’... cukuplah tu, apa yang aku nak lagi?”

Sekarang si Tengku Farizlah yang terpaksa membayar balik pinjaman pelajarannya. Mujurlah suaminya tu anak tauke batik sutera dari Terengganu. Kalau tak kerana tu pun, Zureena kan anak orang kaya... hal kewangan bukan masalahnya, sejak dari dulu. Sedari dulu Zureena tidak pernah takut untuk berbelanja.

Zureena tak perlu meminta atau mendengar nasihat orang. Zureena selalu tahu apa yang mesti dia lakukan. Semasa di US bertemu dengan Tengku Fariz; lalu apabila dilamar Tengku Fariz... Zureena terus setuju. Zureena tidak perlu berfikir panjang untuk membuat keputusan walaupun baru sebulan dia mengenali kerabat diraja Terengganu tu.

Zureena tidak seperti aku. Aku begitu sukar untuk membuat keputusan. Aku sering memikirkan yang buruk lebih banyak daripada yang baik. Aku harus fikir tentang adik-adikku yang menjadi yatim piatu. Dapatkah Nazrin menerima mereka? Dapatkah Nazrin menerima hakikat sebahagian besar daripada pendapatanku hanya untuk adik-adik dan keluarga di kampung Yalah, aku masih mempunyai seorang nenek yang menjadi tanggungjawabku. Kerana itulah aku gagal memberi jawapan kepada lamaran Nazrin. Dan Nazrin yang ‘tak tau bahasa’ tu terus-terus melamarku dan tidak pernah faham erti ‘TIDAK’. Aku akhirnya terdesak dan meminta pendapat pakar (kononnya); si Zureena... si Kaunselor Cinta.

“Kenapa tah, Achu Dillah tak cakap siang-siang lagi dia suka pada Paksu Adi, jika tidak tentu umi dah jodohkan mereka... itulah kedua-duanya tu pemalu sangat.” Zureena pura-pura memberitahu Asyraf dan Nadira untuk mengusik aku.
Anak-anaknya itu berkerut tidak faham dengan mesej umi mereka! Bulat saja mata hitam mereka merenung umi, tetapi masih tidak faham.

“Terimalah Nazrin, Dillah. Cinta akan datang kemudian.” Kata Zureena.
“Dia pun apa kurangnya. Malah, aku tengok lebih tampan dari Adi... yang muka macam tak siap tu!”
“Amboi, sedapnya kata kat orang... awak tu mengandung Zu, cakap tu biar berlapik sikit.” Kataku sambil mencubit pipinya.
Zureena ketawa kuat sambil memegang perutnya yang memboyot tu. Kemudian dia cepat-cepat beristighfar berkali-kali.

“Dillah, Nazrin dah bersungguh-sungguh tu. Hal adik-adik kau tu, letak ke tepi dulu. Cari dirimu sendiri, Dillah. Aku pasti kalau Nazrin sayangkan kau, dia tentu tiada masalah menerima adik-adik kau tu. Berilah dia peluang, sekali saja... dan kau tak akan menyesal,” sambung Zureena lagi.
Mudahnya Zureena memujuk. Sebagai anak tunggal Zureena sentiasa memandang enteng dalam semua hal, bisik hati kecilku.

“Kalau Adi yang lamar, tentu kau tidak berfikir panjang lagi, bukan?”
Aku mengangguk dengan rasa sungguh malu.
“Kenapa?”
“Aku memang suka dia.” Untuk pertama kali aku berani berkata jujur pada Zureena dan diriku sendiri.
“Hipokrit!” Balas Zureena sambil mencubitku.

Zureena tidak pernah tahu selama ini aku tidak pernah berkawan dengan sesiapa untuk terus setia pada Adi. Aku mahu apabila aku bertemu Adi semula, hatiku masih suci. Hati yang tidak pernah terusik itulah yang akan aku serahkan pada Adi semuanya.

“Jangan jadi bodoh, bukankah selama ini tidak pernah ada apa-apa pun terjadi antara kau dan Adi. Aku rasa masa sekolah pun begitu. Tak tahu pula, kalau ada apa-apa yang kau sembunyikan daripada aku.” Zureena memohon kepastian sambil tersenyum sinis. Aku menggeleng dengan rasa sungguh malu.
Yalah, mana tak malu... kerana Adi tidak pernah menghubungiku pun... tetapi hati yang tidak tahu malu ini terus menyimpan rasa kepadanya. Bodoh betul! Tapi aku suka menjadi bodoh begitu.

“Kalau dia betul-betul suka kau, dia pasti menghubungi kau sebaik saja sampai di London... dah lama benar ni, bukannya baru setahun-dua. Dillah... Adi bukannya buta huruf untuk menulis... mungkin dia tu jenis buta hati! Tidak pernah tahu di tanah airnya sendiri seorang gadis menanti dan mencintainya separuh mati,” perli Zureena lagi.
Mata Adillah mula berair dengan kata-kata Zureena itu.
“Tulislah! Luahlah! Apa yang Adi nak malu sangat tu?” Sambungnya lagi dengan nada yang tinggi.

Aku sedar dengan kata-kata Zureena, tetapi itu tidak sedikit pun menggugat rasa setiaku kepada Adi. Aku mempercayai naluriku melebihi kata-kata orang dalam membuat keputusan. Biasanya naluriku tidak pernah berbohong. DEGIL, itulah perkataan yang paling tepat untuk aku, kata Zureena. Aku menangis mendengar kata-kata Zureena. Aku mengharapkannya untuk memperkukuh lagi kasih sayangku kepada Adi... sebaliknya, Zureena cuba meruntuhkan benteng hati yang aku bina selama ini. Aku jadi jauh hati.
“Itukan sekadar usikan kawan-kawan... semuanya ‘nonsense’, Dillah,” sambung Zureena lagi.

Aku menangis lagi kerana geram.
“Menangislah Dillah, kau tu memang perlu disedarkan. Mungkin kadang-kadang pelangi hanya untuk dilihat bukannya untuk dipegang, Dillah. Keluarlah dari mimpi. Kau sebenarnya cuba memahat langit dengan bayang-bayang dan menghias mimpi dengan angan-angan.” Tegas Zureena dengan mata yang tidak berkelip.
Amboi bukan main lagi bahasanya. Itukah Zureena yang pernah aku kenal dulu? Yang selalu meniru karanganku di sekolah? Tiba-tiba dia jadi terlebih pandai menyusun madah, dengan kata-kata indah bak penyair... mengalahkan aku sendiri, ‘guru’-nya tu?

“Berapa? Berapa ringgit Nazrin upah kau untuk menyakiti hatiku, merubah kesetiaan dan fikiranku?”
Aku tahu Tengku Fariz tu sepupu Nazrin, sebelah bondanya. Agaknya Nazrin mempergunakan Zureena untuk memujuk aku. Kalau tak masakan dia bersungguh-sungguh begini.

“'Come on’ jangan jadi bodoh, Dillah. Aku tidak pernah meminta sesen pun untuk kebahagiaan sahabat yang paling aku sayang,” balas Zureena sambil mendakap aku dengan penuh kasih sayang.
Memang betul tu, Zureenalah yang menemukan Hanim dan Syafiq semula. Tetapi kenapa dia tidak memainkan peranan untuk menjodohkan aku dengan Adi? Kenapa dia tidak memahami perasaan aku?

Aku memandang Zureena semula, cuba meraih simpatinya. Senangnya hatiku melihat Zureena bahagia, dan kini dia cuba pula membuat aku bahagia pula. Perlukah begitu? Kan jodoh tu kerja Tuhan.... bolehkah aku berbahagia dengan Nazrin sedangkan selama ini hanya Adi di hatiku. Hatiku sendiri sudah berpenghuni sejak dahulu, mana mungkin Nazrin dapat mengisinya.

“Tengok Nurazah tu, perkahwinannya lagi teruk... keluarga yang atur, tetapi mereka bahagia juga. Kau dan Nazrin sudah lama kenal, dah tahu hati budi masing-masing. Adillah, kenapa mesti tunggu lama-lama?” Zureena merenungku semula, menagih balasan kata.

“Seronoknya jadi Hanim dan Syafiq. Masing-masing memendam rasa, Hanim ke Australia – Syafiq ke UTM, bila mereka bertemu semula, kini masing-masing menunggu hari bahagia,” kataku tiba-tiba.

Sedangkan aku masih menunggu Adi – entahkan aku yang terkenang-kenang orang benci pun aku tak tahu. Aku cuba memberi ‘hint’ kepada Zureena untuk menjodohkan aku dengan Adi, bukannya dengan Nazrin. Aku menggunakan cara yang paling konservatif. Aku masih malu untuk berterus-terang dengan Zureena tentang hasratku itu.... Tolonglah Zureena mengerti, carilah Adi untuk aku, bisik hati kecilku.
“Cuma kau yang masih begini,” kata Zureena, matanya masih menunggu jawapan aku – jawapan yang tak pasti tentang hubunganku dengan Nazrin.

Zureena memang pandai memujuk. Di sekolah dulu, dialah yang menjadi dalang menghantar surat layang kepada Puan Midah (guru senaman yang garang macam harimau lepas beranak tu). Dan akulah yang dipujuk-dipaksa menulis surat itu. Dan akibatnya; kami semua menderita didenda mencuci semua tandas kerana rancangan kami diketahui guru disiplin.

Kini Zureena menggunakan pengaruhnya lagi:
“Kalau Nurazah, Ruzita dan Hanim tahu pun mereka akan marahkan kau, kerana menunggu Adi tu. Apalah yang ada pada Adi tu, Dillah,” leter Zureena lagi.
“Zureena, jangan mengata Adi... aku marah tau,” kataku sambil senyum, untuk mengelak suasana menjadi tegang. Aku pura-pura tersinggung atau sebenarnya, aku memang benar-benar aku sedang tersinggung?
“Kalaulah aku tahu di mana Adi, tentu sahaja aku ceritakan tentang kau yang merana di sini. Sungguh, Dillah!” Kata Zureena.

Aku tersentuh dengan kata-katanya. Nurazah yang berada di sana pun (suaminya pegawai diplomatik di sana) tak pernah bercerita tentang Adi. Pernah juga kami dengar dia sambung ‘masters’ dan kerja kat sana... tapi tak jelas di mana. Aku ni kan perempuan, tentulah di luar adat dan keberanianku untuk mencarinya serta meluahkan apa yang tersirat dalam lubuk jiwaku selama ini. Bukankah perempuan hanya mampu menyembunyikan perasaannya, menggadai cinta yang bersarang hanya kerana sebuah harga diri.

Akhirnya aku terima Nazrin. Mungkin dah jodoh (itulah ‘escapism’ yang sering aku kata untuk memujuk diriku sendiri). Aku belajar menjadi isteri yang solehah. Nazrin memberi masa untuk aku melupakan Adi. Dan akhirnya, sedikit demi sedikit aku dapat melupakan cinta pertamaku (bolehkah dikatakan cinta? kalau tidak pernah bersambut pun!). Aku dan Nazrin bahagia sungguh, dan Zureena tumpang gembira dengan kebahagiaan kami.

Mulai dari saat aku menjadi isterinya, segala perhatianku hanyalah untuk Nazrin dan rumah tangga kami. Nazrin sendiri pun faham dengan tugas-tugasku di syarikat periklanan sebagaimana aku sangat faham dengan tugas-tugasnya sebagai seorang wartawan. Betul kata Zureena, cinta kan datang sendiri jika kita membiarkannya ‘beralun’ secara semula jadi ... jangan sesekali mengelak daripada dicintai dan mencintai. Terima kasih Zureena, terima kasih untuk nasihatmu dahulu....

Alangkah bahagiannya tatkala aku sedar, cintaku hanya untuk Nazrin seorang. Dan rasa indah itu dirantai pula dengan sikap mentua yang sayang dan menganggap aku seperti anak sendiri. Tuhan, apa lagi yang kuharapkan selain daripada keredaan-Mu.

= = = = =

Lalu waktupun terus berlari. Rupa-rupanya aku terlalu cepat memuji hari. Pelangi tak pernah berbau, igau dan mimpi bukanlah seperti hujan dan panas dan aku akhirnya gagal menarik Nazrin dari terus mencintaiku untuk selamanya. Aku gagal. Apatah lagi setelah sekian lama berkahwin kami belum pun dikurniakan cahaya mata pengikat kasih. Bagi Nazrin anak lambang maruahnya!

Jadi... Nazrin mula merungut tentang kerja-kerjaku. Sebenarnya aku telah cuba sedaya upaya menguruskan rumah tangga kami dengan teratur. Sejak hampir tiga tahun perkahwinan ini, aku bangun sebelum pukul lima pagi. Mengemas, membasuh... yalah, kerana Nazrin mahu baju-bajunya dibasuh dengan tangan, menyeterika, sediakan sarapan pagi dan mengejutkan Nazrin untuk solat subuh (suamiku itu, tu liat sungguh untuk bangun pagi setelah bekerja tak tentu masa). Kini, Nazrin langsung tak mahu lagi membantuku dengan kerja-kerja dapur. Aku telah kehilangan Nazrinku yang dulu.

Sedih sungguh ... kadang-kadang untuk meminta air sejuk segelas pun Nazrin mesti menjerit dan mengarah aku. Aku faham Nazrin penat, tetapi Nazrin juga harus tahu aku juga penat. Aku tidak punya masa rehat langsung, tambahan pula apabila klien banyak karenah. Masa aku sungguh padat. Kalau sehari aku dapat tidur empat jam dengan nyenyak, itu merupakan bonus bagiku. Amat jarang aku berpeluang mendapat bonus begitu.

Balik rumah terus masak untuk ‘dinner’. Nazrin tidak mahu makan di kedai biarpun betapa sibuknya aku. Lagipun aku sendiri memang simpati pada Nazrin. Waktu tengah hari, dah la terpaksa makan di luar... takkan sebelah malam pun harus makan di luar lagi! Lagipun mak mentua aku sudah berpesan, cara nak ikat hati suami mestilah melalui air tangan isteri – biarkan dia selalu makan masakan kita. Barulah kasih sayang tu berkekalan. Kata-katanya aku junjung....

Emm, tapi... orang lelaki ini apabila tahu kita sayangkan dia, mulalah nak mengada-ngada. Nazrin pun macam tu. Nazrin langsung tak mahu bertolak ansur dengan aku dalam soal masakan. Setiap hari hendak menu Pantai Timur yang renyah-renyah sahaja... ayam percik, nasi dagang, nasi kerabu putih-kuning-hitam... semuanya dia hendak aku masak! Hobinya kini cuma satu; komen masakan aku dan bandingkan dengan masakan meknya. Kata dia; solok ladaku tak lemak, singgang aku macam air mineral – payau, nasi kerabuku dihiris kasar sampai tergantung di kerongkong dan cek mek molekku langsung tak molek!

Aku pun tahu rasa kecil hati. Kalau mula-mula kahwin dulu, telur goreng dan ikan sardin pun, dia sedap dan memuji-muji masakanku. Sekarang masa indah tu sudah tiada lagi. Kadang-kadang aku ingin mengamuk tetapi aku takut jadi isteri yang nusus. Berdosa besar, tak bau syurga, pesan nenek selalu. Semakin memendam, semakin tertekan rasanya.

Apabila aku kerja ‘over time’ dia akan merungut tak menentu. Seolah-olah baru semalam kami menjadi suami isteri. Seolah-olah dia tak tahu itulah bidang tugasku selama ini. Kalau dia berkahwin dengan seorang akaun eksekutif syarikat periklanan, itulah kerjaku. Dulu sebelum aku membuat keputusan untuk berkahwin dengannya, aku pernah usik dia; kalau nak isteri yang sentiasa duduk di rumah pilihlah yang tak kerja atau yang kerja cikgu. Tapi Nazrin tak setuju: “I suka isteri yang ‘challenging’. Jangan nak bagi alasan... nak berdolak-dalik dengan pinangan I ni, Dillah, katanya.

Akhir-akhir ni Nazrin pun dah pandai komen tentang duit yang aku hantar untuk adik-adik. Sedangkan Nazrin pun maklum, Zaharin akan tamat pengajiannya dalam bidang ‘engineering’ bulan April ini, Atirah lepasan TESL UPM tu sudah ‘posting’ cuma belum dapat gaji lagi, Zali pula baru di tahun dua kat UIA, sementara Aliah akan menghadapi SPM. Kadang-kadang dia menunjukkan sikap tidak ramah – dengan adik-adik iparnya tu, yang sesekali mengunjungi apartmen kami ini. Kecilnya hatiku bila dia buat begitu kepada darah dagingku. Tidak menyukai mereka seperti tidak menyukai aku, isterinya.

Kini Nazrin ‘complaint’ dah lama kami sewa ‘apartment’ ini – sepatutnya kita dah mampu kumpul duit untuk bayar muka rumah sendiri. Ini nak beli baju sehelai pun Dillah tak mampu. Mujurlah makan I ‘support’ kalau tak, tak tahu lah – rungut Nazrin. Seolah-olah aku begitu bergantung hidup kepadanya, dan kalau dia tak beri aku makan... aku akan mati kebuluran. Seolah-olah aku ini, sentiasa menyusahkannya. Aku ni kan... isterinya, sudah menjadi tanggungjawabnya memberi aku makan dan pakai. Janganlah nak mengungkit! Malu dekat Tuhan.

Lagipun, bukan lama lagi aku nak bantu adik-adik; apabila Zaharin dan Atirah bergaji, mereka sudah janji nak tanggung segala bebanan aku tu. Harap-harapnya sebulan dua lagi. Lepas ni tentu sahaja aku sudah mulai mengimpikan untuk memiliki rumah sendiri! Tolonglah beri aku sedikit lagi pengertian, Nazrin ... jerit hatiku berulang kali.

Nazrin seperti lupa pada janji-janji manisnya dulu. Dia mula meragui kejujuran dan tindak tandukku. Dan yang paling menyedihkan, dia mula ungkit tentang Adi, yang aku sendiri telah lama cuba lupai. Semuanya ini, bermula daripada ‘reunion’ anjuran Nora, Majmin dan Adam. Aku masih ingat lagi bagaimana kami perang besar kerana Adi.

Aku pada mulanya memang malas nak pergi ke majlis tu; walaupun ini adalah pertemuan kali pertama selepas sepuluh tahun, kami semua berpisah selepas SPM dulu. Dengan rumah tangga yang bergoyang, aku sebenarnya tak mahu bertemu sesiapa pun; segan. Aku mula bimbang kalau kawan-kawan akan dapat menghidu, keretakan rumah tanggaku yang baru setahun jagung tu.

Bagaimanapun apabila kad undangan tiba, Nazrin tiba-tiba beri lampu hijau. Pergilah, boleh ‘rest’. I tak dapat ikut ... ‘busy’... kan menteri nak buat ‘press release’, isu tol tu. You tumpanglah Tengku Fariz dan Zureena ke sana ya. Aduh, bagaimana ya... aku begitu ‘naive’ untuk tidak mengetahui segala rancangan Nazrin, ketika itu.

= = = = =

Seronoknya kami dapat jumpa kawan-kawan lama. Masing-masing sudah berkeluarga dan sudah ada arah tujuan. Tidak sangka Gurmit Singh yang mengarut dengan lagu Hindustannya tu dulu telah kahwin dengan model terkenal serta menguruskan syarikat perfileman sendiri. Setahu aku filem terakhirnya (selepas dia beritahu judul tadi), tak laku pun di pasaran. Kononnya, filem terbaru arahannya sedang 'box office' dan akan ditayangkan di Indonesia. Padahal semua orang tahu, bukannya senang filem kita nak masuk pasaran Indonesia. Nak buat lawak pun, biarlah logik sikit. Aku ni kan kerja dalam industri media massa juga. Hal-hal gosip-mengosip ni aku tahu juga, walaupun tak banyak. Tapi aku malas nak kutuk kerjanya tu. Ali Mamak? Tak pernah dengar pun, Ali Setan adalah. Gurmit, Gurmit... pandai suka dia mencipta cerita!

Nora yang bukan main ‘slim’ dan pandai jaga badan tu kini semakin tembam setelah beranak empat. – Engkau semua peduli apa, suami aku suka! – katanya apabila orang komen bentuk badannya yang cuma kecil sedikit daripada tong dram tu. Yani pula telah berkahwin dengan seorang Datuk duda dan kini bergelar Datin. Dengan usia yang begitu muda, dia sudah ada tiga orang anak tiri yang sebaya dengannya. Asalkan aku bahagia... cukuplah, katanya.

Setelah lebih satu dekad, inilah pertama kali aku melihat Adi semula. Dia bukan seperti dulu. Dia kini: Tinggi – kacak dan matang – dia nampak lebih berwibawa daripada dulu. Aku terkejut memandangnya. Kalau semua orang tahu, beginilah potensi Adi selepas tinggal di UK bertahun-tahun lamanya tu, tentu sahaja semasa zaman sekolah dahulu, ramai yang akan jatuh hati kepadanya. Dan jika masa itu bisa berulang, tentulah aku terpaksa bersaing dengan Nora dan Majmin yang jelita dan ramai peminat tu untuk merebut Adi dulu. Yalah, tentu sahaja kedua sahabatku itu tak akan melepas peluang, menanam modal waktu tu untuk mendapat suami seperti Adi, pada hari ini. Aku ketawa sendiri.

“Eh, Dillah muka macam Adi ni ada peluang untuk jadi model iklan syarikat kau, tak?” tanya Nora, berseloroh.
Adi mendekati kami yang sedang duduk berbual dalam bulatan.
“Apa khabar, Adillah?” tanya Adi lembut dan penuh sopan.
Majmin menyiku aku dan mengenyit matanya.

Kemudian Adi berlalu dari situ dengan anak kecil yang comel.
“Anak dia ke? Yang mana satu isterinya?” Tanya Hanim, sambil memegang perutnya yang sarat mengandung, anak kedua.
“Itu anak Adam lah... dia belum kahwin,” jawab Majmin.
“Mana kau tahu?” tanya Nurazah, masih kurang puas hati dengan jawapan Majmin.
“Aku tahulah, dia dengan suami aku kerja sekali... dengar ceritanya dia masih menunggu seseorang,” kata Majmin, terus mengusik, sambil memandang ke arah Adillah.
“Orang kacak dan punya duit macam dia tu pun, ambil masa yang lama untuk pikat orang,” rungut Nora.

Adillah melihat Adi dalam kelompok rakan-rakan mereka. Sesekali Adi memandangnya. Setiap kali mata mereka bertemu, Adillah akan menunduk. Dillah tidak rindu lagi pada kenangan silamnya, ingatan Dillah masih tetap utuh milik Nazrin. Biar seribu Adi yang datang, ingatannya tetap kepada Nazrin. Benarkah Adi pernah menungguku dulu, seperti kata mereka. Betulkah aku sedikit pun tidak ralat, kerana tidak terus menunggu Adi? Jiwaku sedikit terusik, tiba-tiba....

“Kau tentu perasan tadi, siapa yang dia tunggu... kan di antara kita tadi dia cuma tegur Dillah, tentulah Dillah cukup istimewa baginya. Bukannya kita! Kau masih ingat waktu kita muda-muda dulu, mereka pernah diusik-usik, manalah tahu kalau-kalau...” kata Majmin, sambil memandang tepat ke arah Dillah lagi.

Darah Dillah berderau ... adakah Min dapat membaca rahsia hatinya dulu. Kalau ya, pasti seluruh dewan ni akan tahu, sebentar nanti.
“Jangan mengarutlah Min, Dillahkan dah kahwin... janganlah ungkit kisah-kisah lama tu... tak baik lah macam tu,” kata Zureena yang membisu sejak dari tadi.
“Manalah aku tahu, Dillah datang sorang dan mana pula aku tahu dia dah kahwin... lagipun janganlah sensitif sangat ni kan ‘reunion’.” Kata Majmin.
“Salah aku juga, kahwin tak jemput Min,” sampuk Adillah cuba meleraikan kekalutan teman-temannya.
Majmin senyum, Adillah membalas senyuman ‘damai’ Majmin.

Apabila acara sebelah malamnya berlangsung, cuma Adi dan Dillah yang tiada pasangan. Dillah duduk di penjuru hotel sambil membaca majalah. Rakan-rakan lain sibuk dengan pasangan masing-masing di tepi kolam renang, menikmati BBQ. Adillah sudah hilang selera makan. Kenapalah dia datang ke majlis ini. Pada saat ini dia hanya ingin termenung di beranda apartmennya, merenung bulan sabit di tengah malam dan menangis sepuas hati.

“Janganlah membaca, apa salahnya kita berbual-bual.
Sapaan Adi mengejutkan Adillah dari majalah yang sedang ditiliknya.
“Saya nak ambil makanan dulu,” kata Dillah untuk mengelak daripada berbual-bual dengan Adi. Dia kan isteri orang. Tak fasal-fasal, timbulnya fitnah. Lalu sejak kelmarin lagi, dia cuba mengelak bersemuka dengan Adi. Bohonglah kalau dia kata, yang dia sudah betul-betul dapat melupakan Adi seratus peratus. Adillah beristighfar di dalam hati.

“Duduklah sekejap, dari siang tadi banyak yang saya nak cerita dengan Adillah... tapi Adillah mengelak terus....”
“Atau, ada yang marah? Tak kan lah bercakap dengan kawan lama pun si dia marah!”
“Kita kawan lama ke?” Soal Adillah.
Kemudian mereka sama-sama ketawa.

“Sejak pulang ke sini, saya selalu juga baca rencana tulisan Adillah dalam ‘paper' dan ‘magazine’, tapi tak sangka rupanya Adillah juga terlibat dalam periklanan,” kata Adi. Dillah cuma diam. Adi hilang arah. Dia tidak tahu nak kata apa! Tak tahu hendak berbasa-basi lagi!
“Adillah... saya minta maaf,” kata Adi tiba-tiba.
“Kenapa?”
“Seksa jiwa Dillah dulu.” Katanya perlahan.
“Siapa pula bawa cerita karut ni? Kita tak pernah janji apa-apa kan, mana mungkin jiwa saya terseksa. Saya sangat bahagia dengan Nazrin, suami pilihan sendiri!” marah Dillah. Dia sendiri tidak tahu kenapa tiba-tiba dia harus bercerita tentang kebahagiaannya dengan 'suami pilihan sendiri' itu.

Di kepalanya teringat Zureena. Sampai hati Zureena membuka pekung sahabatnya sendiri. Bukankah menjaga rahsia orang tu, adalah amanah yang dituntut dalam Islam. Rasa menyesal memberitahu Zureena tentang rahsia hatinya hari tu, mengganggu hati nuraninya pada saat ini.
“Syukurlah, Adillah berbahagia dengan Nazrin kini. Itu sudah cukup untuk membuat saya tumpang gembira,” kata Adi mendatar.
Adillah jadi malu, Adi mengetahui segala isi hatinya dulu. Zureena... sampainya hati awak!

“Jangan tuduh Zureena, dia tak bersalah langsung. Saya yang bertanya hal Adillah pada Zureena setelah kembali dari UK dulu. Rupanya saya ni langkah kiri,” kata Adi, seperti faham apa yang berlegar di minda Dillah ketika ini.

Dia seperti ingin berkata, Adillah... percayalah, kamu tidak pernah bertepuk sebelah tangan! Dia hanya terlewat enam hari selepas Adillah membuat keputusan meninggalkan zaman gadisnya. Adillah dan Nazrin berkahwin tergesa-gesa, kerana Nazrin bimbang Adillah akan menukar keputusannya semula. Itulah cerita Zureena, apabila Adi memaksanya bercerita.

Aduh, rupanya naluri Adillah sebelum ini, tidak pernah berbohong, kata hatinya sendiri. Namun masa telah merubah segalanya. Aku adalah milik mutlak Nazrin! Biar berkali-kali Abdul Hadi yang datang, setia aku tetap pada Nazrin, taat aku masih pada suamiku. Biarpun Nazrin tidak lagi seperti yang aku kenal dulu, dia tetap istimewa di hatiku ini. Aku tetap sayang kepadanya. Walaupun kasih sayangnya semakin dingin, aku pasti ini hanya untuk sementara saja, mungkin Nazrin banyak sangat masalah. Yalah, kerjanya sebagai wartawan memang ‘tough’. Lagipun dia tentu sudah tidak cukup kuat menerima tohmahan orang, yang aku tak bisa melahirkan zuriat untuknya.

“Masa telah lama berlalu, cerita karut zaman kita budak-budak itu sekadar menjadi kenangan indah. Betapa bodohnya kita masa tu, menyimpan angan-angan yang begitu... jodoh tu kan, kerja Tuhan. Suatu hari nanti saya pula akan tumpang gembira mendengar Adi bahagia di samping gadis bertuah,” kata Dillah. Adi tidak menjawab apa-apa.
“Ataupun sebenarnya sekarang pun si dia sudah ada... sengaja tak nak tunjukkan kepada kita orang,” kata Dillah, tulus ikhlas.

Adi diam. Dari dulu Adi sengaja tak mahu ganggu Adillah belajar. Biarlah sama-sama habis studi dulu. Apabila Adi sudah ada kedudukan, barulah dia berani melamar buah hatinya tu. Adi bimbang kalau bercinta lama-lama dan duduk jauh-jauh pula; takut putus di tengah jalan. Rupanya strateginya silap. Tujuh tahun adalah satu jangka masa yang lama. Tanpa kata janji yang pasti, tentulah Adillah tak sanggup menunggu. Perempuan dengan usia adalah sinonim yang tak dapat dipisahkan. Adi tak salahkan Adillah dalam hal ini. Dialah yang lambat menambat hati buah hatinya itu ....

Pernah juga dulu, berkali-kali dia cuba menulis surat kepada Adillah... tapi dia tak pernah berani mengeposnya. Mengapa pengecut sangat? Kini apabila burung telah terbang... lada yang dipipiskan sudah tidak bermakna lagi.

Adi memandang wajah Adillah yang telah menjadi milik orang. Walaupun mukanya agak pucat, namun keayuannya masih terserlah. Dengan tudung warna kuning susu diserikan pula dengan baju kurung sutera warna merah bata dan kuning gading dengan corak abstrak dari batik tulis, dia betul-betul seorang perempuan Melayu terakhir bagi Adi.

Adi bukannya nak ganggu rumah tangga Adillah. Sesungguhnya, Adi rasa senang Adillah bahagia. Untuk dirinya sendiri, dia tidak pernah menyalahkan takdir. Tentu ada hikmah di mana-mana yang gagal ditafsirkan oleh manusia. Tapi untuk melupakan Dillah dengan sekelip mata, itu di luar kemampuannya sebagai insan yang lemah. Sejak dapat tahu Adillah sudah menjadi hak orang lain, Adi sedang ‘mengajar’ dirinya untuk reda menerima ketentuan Allah dan 'belajar' jatuh hati pada gadis lain pula. Sayangnya, hatinya masih enggan berpaling....

Yalah, perasaannya untuk Adillah bukan baru semalam dia simpan. Sudah tertakung dalam hatinya, bertahun-tahun lamanya... sudah menjadi sebahagian daripada hidupnya – seperti kompas yang memandu arah pelayarannya.

= = = = =

Semuanya berakhir dengan gembira, kecuali apabila pulang ke rumah Isnin itu, Nazrin ingin tahu yang mana satu Abdul Hadi dalam gambar yang kami rakamkan ramai-ramai depan mural sekolah. Aku tanpa syak apa-apa menunjukkannya.
“Kacak. Kacak” Kata Nazrin berbau cemburu.
Nazrin cuba memancing kemarahanku dan kemudian menuduh aku derhaka. Nazrin sengaja cuba memecah-belah hubungan kami yang telah sedia retak.

Tidak lama kemudian, barulah aku tahu, Nazrin sebenarnya bertemu semula dengan kekasih lamanya Wan Marlisa Dato’ Wan Helmi. Pilunya hatiku. Aku rasa dipermainkan. Patutlah perangainya tiba-tiba berubah. Segala kesetiaan dan kejujuranku menjadi sia-sia. Kenapa tidak berterus- terang saja. Bukannya dengan cara cuba mengungkit hal yang bukan-bukan. Dalam dua hari aku ke majlis ‘reunion’ tu, Nazrin mengambil kesempatan untuk mengadakan majlis ikat janji dengan Wan di Kuantan. Amboi siap dengan majlisnya sekali... meriah sangat.

Kebetulan rakan sepejabat aku tinggal dekat rumah Wan di Kuantan memberitahuku: “Aku terkejut betul, Dillah... bila nampak suami Dillah yang bakal menjadi menantu Dato’ Wan Helmi tu.” Kerana aku tidak yakin dengan cerita yang dibawanya, Jihan siap tunjukkan gambar pertunangan tu.

Oh, rupanya apabila Nazrin sudah tidak jujur, dia ingat semua orang sudah tidak jujur lagi. Bodoh betul aku ni, tidak pernah mengesyakinya sedari awal. Aku tidak pernah sedar, hubungan mereka – Wan dan Nazrin - telah berlangsung hampir separuh dari tiga tahun usia perkahwinan kami. Yalah, sejak Wan Marlisa kembali ke Malaysia. Pandainya berpura-pura. Dahsyat sungguh! Sampainya, hati....

Biarpun keluarga Nazrin masuk campur, Nazrin tetap menceraikan aku. Alasannya, Wan tak mahu bermadu. Nazrin lebih sayangkan perempuan gatal-gatal manja tu daripada aku. Amboi, Dillah sedapnya mengata orang. Tak takut dosa pahala ya, jerit hati kecilku. Sedih! Sedihnya..... Dan aku sendiri pun ada harga diri (orang dah tak suka buat apa pipi ni nak tersorong-sorong lagi). Zureena dan Tengku Farizlah menjadi orang yang paling sedih dengan untung nasibku.
“Maafkan aku Dillah, aku yang paksamu dulu,” kata Zureena.
“Sekurang-kurangnya kahwin juga aku, tak lah aku bergelar andartu,” selorohku untuk menyedapkan hati Zureena yang terus-terus rasa bersalah.
Biarpun Zureena sebenarnya, tidak pernah tahu, ‘title’ janda itu lebih menakutkan aku untuk mengharungi dunia yang penuh fitnah ini.

= = = = =

“Dillah masih ingat Adi?” Tanya Zureena.
Aku malas memberitahu Zureena, Adi pernah telefonku dua kali, bertanya kalau-kalau dialah yang menjadi punca penyebab rumah tanggaku hancur. Tentu sahaja aku jawab tidak – meskipun kebenarannya tetap ada. Kehadiran Adi memudahkan Nazrin mencari alasan untuk menceraikan aku kerana ingin kembali semula kepada kekasih yang pernah meninggalkannya dalam duka yang panjang suatu ketika dulu. Sepatutnya sedari dulu, aku jangan percayakan cinta kedua seorang lelaki!

Aku cuma diam dan membiarkan Zureena berceloteh.
“Dia selalu bertanya tentang Dillah, dia tahu Dillah bersendiri kini.” Kata Zureena sambil menyenduk pelbagai makanan.
Jamuan makan malam di Hotel Istana itu juga mengundang pelbagai tokoh koperat. Zureena menemani si Tengku Fariz di sini. Sedangkan aku dan Jihan mendapat undangan daripada seorang klien. Dapat makan 'free' siapa nak tolak, kata Jihan semalam sewaktu memujukku untuk menemaninya hari ni.

“Dia tahu yang kau begitu setia... cuma jodoh kamu berdua yang tak ada.” Adillah menundukkan matanya sambil memerhati ‘lobster’ yang dibakar dengan mentega di atas gril. Bau asap yang bercampur dengan mentega, menjentik seleranya untuk mencuba. Tetapi keinginannya dihalang oleh celoteh Zureena yang tak sudah-sudah. Dia ingin cepat-cepat melarikan diri dari segala persoalan yang dibawa oleh sahabatnya itu. Sudahlah Zureena, aku sudah jemu mendengarnya. Soal nikah kahwin ni, mahu saja aku simpan dalam laci kenangan aja.

“Sebenarnya dia menyuruh aku menyampaikan perasaannya kepadamu, tetapi aku tidak berani lagi Dillah. Aku suruh dia ‘contact’ kau sendiri. Percayalah Dillah, dia akan menghubungi kau dalam minggu ni. Aku sekadar memberi amaran awal, supaya kau tak panik,” bisik Zureena, di antara Datin Rosidah dan Puan Sri Zaitun.

“Zu... Nazrin juga telefon, dia juga ingin kembali semula,” kataku tiba-tiba, Zureena tidak jadi melangkah.
“Bagaimana dengan isterinya, Wan Marlisa yang jelita tu?”
“Kononnya dia tak bahagia... dia kehilangan aku.”
“Apa kata kau?”
“Cukuplah sekali!”
“Pada Adi?”
“Zureena, dalam usia di 30-an ini ... sebagai seorang janda pula... aku tidak pernah bermimpi lagi. Bukankah kau selalu mengingat aku agar sedar daripada mimpi-mimpi. Mimpi hanya mainan masa dan sesungguhnya masaku telah berlalu, Zureena.”
“Jangan pesimis begitu Dillah. Jangan kata begitu pada Adi ya, Dillah. Inilah masanya kamu berdua meneruskan kasih yang tak kesampaian dulu tu,” kata Zureena sambil mengenyit matanya padaku. Dia segera ke meja Tengku Fariz dengan pinggan penuh berisi makanan.

Kata Zureena, kalau aku mengecewakan Adi, sebenarnya aku mengecewakan hatiku sendiri. Benarkah begitu? Masih bersemikah cintaku pada Adi? Lalu hati kecilku yang satu lagi dengan lambat-lambat menjawab, cukuplah sekali Adillah, cukuplah sekali....


T A M A T